Faisal Basri: Salah Kaprah Omnibus Law Pacu Investasi
JAKARTA – Urgensi memacu realisasi investasi merupakan alasan pemerintah untuk mempercepat pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Berulang kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia butuh menggaet investasi besar demi pembangunan dan penyerapan tenaga kerja. Benarkah begitu? Faktanya, pemerintahan Jokowi justru menorehkan rekor realisasi investasi tertinggi sepanjang sejarah. Tapi mengapa narasi yang mengiringi UU Ciptaker seolah […]
Industri
JAKARTA – Urgensi memacu realisasi investasi merupakan alasan pemerintah untuk mempercepat pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Berulang kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia butuh menggaet investasi besar demi pembangunan dan penyerapan tenaga kerja.
Benarkah begitu? Faktanya, pemerintahan Jokowi justru menorehkan rekor realisasi investasi tertinggi sepanjang sejarah. Tapi mengapa narasi yang mengiringi UU Ciptaker seolah menafikan prestasi tersebut?
Ekonom senior Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Faisal Basri mengklaim pemerintah keliru mengatakan bahwa investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan “tidak nendang”.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dengan alasan tersebut, Faisal mengatakan landasan UU Ciptaker ini tidak tepat jika disandingkan dengan data realisasi investasi dan persoalan ketenagakerjaan.
Menurut survei World Economic Forum (2017), penghambat nomor wahid investasi di Indonesia adalah korupsi, lalu disusul oleh birokrasi yang tidak efisien, dan rendahnya akses pembiayaan.
“Alasan keliru inilah yang membuat Presiden mencari jalan pintas atau terobosan dengan mengajukan jurus sapu jagat Omnibus Law Cipta Kerja. Kalau landasannya keliru, maka Omnibus Law tak memiliki pijakan kuat,” terang Faisal, dikutip dari laman pribadi, Jumat 9 Oktober 2020.
Kekeliruan paling fatal menurut Faisal adalah anggapan bahwa eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menghambat investasi. Pandangan ini tercermin dari revisi Undang-Undang KPK yang kontroversial.
Alhasil, KPK tak lagi bertaji untuk menjaring korupsi di pusaran kekuasaan, terutama dalam bentuk korupsi kebijakan. Semantara, oligarki makin menguasai kekayaan sumber daya alam lewat praktik pemburuan rente berskala besar.
Keluhan Jokowi
Selain soal investasi, Jokowi juga mengeluhkan sulitnya pertumbuhan ekonomi melampaui 5%. Padahal, pemerintahan Jokowi sudah sangat masif membangun infrastruktur.
Prestasi lainnya adalah pemerintah mampu mencetak angka inflasi terendah sepanjang sejarah. Kemudian, angka kemiskinan juga berhasil ditekan di satu digit, ini merupakan yang terendah sejak 1945.
Angka ketimpangan juga makin mengecil, terbukti dengan nisbah gini (ratio gini) yang turun di bawah 0,4, membaik dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sempat di atas 0,4.
Faisal membeberkan alasan mengapa realisasi investasi yang tinggi tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, permasalahannya ada pada korupsi.
Selain itu juga adanya sejumlah praktek ekonomi yang tidak produktif. Misalnya, proyek-proyek besar diberikan ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga tak ada tender yang berakibat pada tidak terbentuknya harga yang kompetitif.
Tidak hanya itu, pemerintah dinilai terlalu ‘memanjakan’ investor kelas kakap. Di mana investor raksasa mendapatkan fasilitas yang tujuan awalnya memang untuk menarik investasi, tapi di sisi lain merugikan pasar domestik.
Fasilitas premiumnya antara lain terkait regulasi ekspor-impor, pembebasan bea impor, pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), gratis bayar pajak keuntungan selama 25 tahun, serta tenaga kerja asing yang tidak dikenakan visa kerja.
Praktik-praktik itulah yang bermuara pada ICOR (incremental capital-output ratio) yang sangat tinggi. Di era Jokowi ICOR mencapai 6,5, sedangkan sepanjang kurun waktu Orde Baru sampai era SBY reratanya hanya 4,3.
Artinya, selama periode pertama Jokowi, untuk menghasilkan tambahan satu unit output, diperlukan tambahan modal 50% lebih banyak. Tambahan modal itu tak lain dan tak bukan adalah investasi.
Bukan hanya lebih parah dari periode-periode sebelumnya, ICOR Indonesia pun tertinggi di ASEAN. Singkatnya, Faisal berpendapat jika Presiden ingin pertumbuhan ekonomi 7%, yang perlu dilakukan adalah pemberantasan korupsi.
“Tak perlu Omnibus Law yang banyak cacatnya itu. Perangi saja terus korupsi, terutama di pusaran kekuasaan, dan segala bentuk pemborosan dengan menurunkan ICOR menjadi 4,7. Maka pertumbuhan 7 persen otomatis akan tercapai.”