<p>Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan berkas tanggapan akhir pemerintah kepada Ketua DPR, Puan Maharani pada rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020. DPR dan pemerintah mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna. Sembilan fraksi di DPR kembali menyampaikan pandangan mereka terhadap RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna. Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat tetap menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Investasi Sudah Kinclong, Enggak Perlu Dipoles Omnibus Law

  • JAKARTA – Dalam publikasi teranyar, ekonom senior Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Faisal Basri mengungkapkan realisasi investasi di Indonesia sudah baik dan terus meningkat. Sehingga, ia kurang sepakat jika alasan pemerintah ngebut mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) adalah karena ingin meningkatkan investasi. Investasi yang dimaksud di sini mengacu pada pembentukan modal tetap […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Dalam publikasi teranyar, ekonom senior Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Faisal Basri mengungkapkan realisasi investasi di Indonesia sudah baik dan terus meningkat.

Sehingga, ia kurang sepakat jika alasan pemerintah ngebut mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) adalah karena ingin meningkatkan investasi.

Investasi yang dimaksud di sini mengacu pada pembentukan modal tetap bruto yang berwujud alias investasi fisik. Bukan, investasi finansial seperti saham dan obligasi.

Di mana pembentukan modal tetap bruto merupakan salah satu komponen dalam produk domestik bruto (PDB).

Merujuk data Bank Dunia 2018, investasi di Indonesia terus konsisten tumbuh positif. Bahkan, realisasinya lebih tinggi dari China, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, dan Brazil atau kurang lebih menyamai India, dan sedikit di bawah Vietnam.

“Capaian Indonesia di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan torehan tertinggi sepanjang sejarah. Jumlahnya 34 persen dari PDB dari rerata sebelumnya di bawah 30 persen,” kata Faisal, dinukil dari publikasinya, Jumat, 9 Oktober 2020.

Rasio Investasi Terhadap PDB

Derasnya arus investasi di Tanah Air turut mendongkrak rasio investasi terhadap PDB. Tercatat, rasio investasi dalam PDB di Indonesia lebih tinggi dari rerata kelompok negara berpendapatan menengah bawah dan menengah atas.

Di ASEAN, rasio investasi Indonesia jadi jawara, hanya China yang jauh lebih tinggi yakni sekitar 44,1% pada 2018.

Akan tetapi, pemerintah China sudah mulai banting strir karena meluapnya investasi di sana. Alhasil, pemerintah negara Tirai Bambu itu mulai menyalurkan investasinya di luar negeri.

Cerminan lainnya adalah survei persepsi dari Japan Bank for International Coorporation yang menempatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi nomor wahid pada 2013, disusul oleh India dan Vietnam.

Sayangnya, ranking tersebut turun pada 2018 menjadi peringkat ke-5. Di mana posisi teratas ditempati oleh India, diikuti China, Vietnam, dan Thailand.

Namun, survei serupa dari The Economist asal Inggris pada 2019 tetap menunjukkan Indonesia masih cukup ‘seksi’ dengan posisi ketiga, di bawah China dan India sebagai negara tujuan investasi.

Tidak hanya menarik bagi Jepang dan Inggris, China juga terbukti makin kepincut berinvestasi di Indonesia.

Buktinya, peringkat Indonesia dalam China Going Global Investment Index melesat ke posisi 26 pada survei terakhir (2017), dari sebelumnya mandek di posisi 44 pada 2013 dan 2015.

Tidak kurang mempesona, publikasi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), World Investment Report 2020 memasukkan Indonesia ke dalam jajaran top-20 dalam konteks investasi asing langsung (foreign direct investment/ FDI).

Di antara negara ASEAN, hanya Indonesia dan Singapura yang masuk ke daftar tersebut.

Ke-20 negara tersebut adalah, Amerika Serikat, China, Singapura, Belanda, Irlandia, Brasil, Hong Kong, Inggris, India, Kanada. Kemudian ada Jerman, Australia, Prancis, Meksiko, Rusia, Italia, Siprus, Swedia, dan Israel.

Faktor Penghambat Investasi Asing

“Padahal, Indonesia bisa dikatakan jual mahal terhadap investor asing. Dan, yang luar biasa, selama ini Indonesia tak pernah sangat bergantung pada investasi asing,” tambah Faisal.

Riset Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2018, Indonesia berada di peringkat ketiga negara dengan paling restriktif pada pembatasan FDI.

Di atasnya ada Arab Saudi dan Filipina. Di mana pembatasan FDI berkontribusi sebanyak 78,9% dari total faktor penghambat investasi asing.

“Kalau Indonesia ingin dibanjiri investor asing, tebas saja pagar tinggi itu dan enyahkan kawat berduri yang menyelimuti pagar. Tak perlu bom atom Omnibus Law, cukup dengan melongggarkan restriksi utamanya, yaitu berupa equity restriction.”