JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina menyatakan, perlindungan konsumen<a href="https://www.trenasia.com/gunakan-e-commerce-transaksi-rs-components-naik-30-persen/" target="_blank" rel="noreferrer noopener"> e-commerce</a> di Indonesia belum memadai dan sepadan dengan potensi pasar yang industri ritel digital yang besar.



Dalam studinya, ia menemukan sejumlah faktor penghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia. Pertama adalah belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Untuk itu, ia sangat mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi.


<ul class="wp-block-latest-posts__list wp-block-latest-posts"><li><a href="https://www.trenasia.com/11-bank-biayai-proyek-tol-serang-panimbang-rp6-triliun/">11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun</a></li>
<li><a href="https://www.trenasia.com/ptpp-hingga-mei-2021-raih-kontrak-baru-rp67-triliun/">PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun</a></li>
<li><a href="https://www.trenasia.com/rilis-rapid-fire-mnc-studios-milik-hary-tanoe-gandeng-pengembang-game-korea/">Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea</a></li>
</ul>


“Data pribadi tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi. Dalam beberapa kasus data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen,” ujar Alifah dalam keterangan resmi, Rabu, 13 Januari 2021.



Permasalahan selanjutnya adalah awareness di masyarakat dan juga upaya pemerintah yang masih minim. Masyarakat sebagai konsumen belum sepenuhnya paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen.



Dalam hal ini, sebetulnya telah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). 



<h6>Larangan Membagi Data Konsumen</h6>



Aturan tersebut mengatur larangan untuk membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga dan aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce.



Di sana juga diatur menganai kewajiban penyedia layanan e-commerce untuk melaporkan data kepada <a href="https://www.trenasia.com/survei-bps-menunjukkan-perempuan-lebih-baik-dalam-mencegah-virus-corona/" target="_blank" rel="noreferrer noopener">Badan Pusat Statistik</a>. Sayangnya, belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce dalam mematuhi regulasi yang berlaku.



“Perlu adanya konsolidasi antarlembaga pemerintah. Harapannya, beberapa aspek perlindungan konsumen yang masih luput di PP tersebut dapat diakomodir, seperti misalnya model bisnis dropshipping,” tambahnya.



Untuk diketahui, pertumbuhan akumulasi nilai pembelian melalui platform digital di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN. Atau setara dengan Vietnam, menurut studi yang dilakukan oleh Google, Temasek, &amp; Bain (2020).



Transaksi e-commerce di Indonesia meningkat dua kali lipat sejak pandemi COVID-19, yaitu sebesar US$32 Miliar atau meningkat 54% dari 2019.

ANANDA.png

Warga mengakses salah satu platform e-commerce untuk berbelanja secara daring melalui gawai dalam rangka Hari Belanja Online Nasional atau &#8216;Harbolnas 11.11&#8217; di Tangerang, Banten, Rabu, 11 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

kemeriahan-harbolnas-9

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina menyatakan, perlindungan konsumen e-commerce di Indonesia belum memadai dan sepadan dengan potensi pasar yang industri ritel digital yang besar. Dalam studinya, ia menemukan sejumlah faktor penghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia. Pertama adalah belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Untuk itu, ia [&hellip;]

Pasar Besar, Tapi Perlindungan Konsumen E-Commerce di Indonesia Belum Memadai

Industri