<p>Ilustrasi: Warga mengantre untuk mengikuti Rapid Test Gratis di terowongan Jalan Kendal, Sudirman, Jakarta, Senin 8 Juni 2020. Hari pertama dibuka nya perkantoran, warga pengguna transportasi publik mengikuti rapid test gratis yang diadakan swasta bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan dan BNPB guna menekan penyebaran COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>

1 dari 5 RT-PCR Berpotensi Hasilkan Negatif Palsu

  • BALTIMORE-Para ilmuwan dari Johns Hopkins Medicine di Baltimore, Maryland menunjukkan sebanyak 1 dari 5 tes Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk coronavirus dapat menghasilkan negatif palsu yang secara keliru memberi tahu pasien bahwa mereka tidak memiliki infeksi SARS-CoV-2. Penelitian yang muncul di Annals of Internal Medicine dan dikutip Medical News Today 6 Juni 2020 menyebutkan […]

Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

BALTIMORE-Para ilmuwan dari Johns Hopkins Medicine di Baltimore, Maryland menunjukkan sebanyak 1 dari 5 tes Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) untuk coronavirus dapat menghasilkan negatif palsu yang secara keliru memberi tahu pasien bahwa mereka tidak memiliki infeksi SARS-CoV-2.

Penelitian yang muncul di Annals of Internal Medicine dan dikutip Medical News Today 6 Juni 2020 menyebutkan sejak awal wabah coronavirus, RT-PCR telah digunakan secara rutin sebagai alat diagnostik. Namun, keakuratan teknik dalam mendeteksi dan khususnya bagaimana berkaitan dengan lamanya waktu sejak infeksi, tidak jelas.

Memahami keakuratan tes tentu saja sangat penting karena akan berkontribusi pada keputusan penting, seperti apakah mengizinkan petugas layanan kesehatan kembali bekerja, atau kalau di Indonesia dia diizinkan bepergian atau tidak. Selain itu, informasi dari pengujian ini juga akan menjadi dasar keputusan pemerintah tentang pencabutan pembatasan.

Penelitian ini mengidentifikasi tujuh studi secara total, termasuk data dari 1.330 sampel pasien, termasuk pasien rawat inap dan mereka yang mengalami gejala dan melakukan isolasi mandiri.

Analisis mereka menunjukkan bahwa kemungkinan hasil negatif palsu bervariasi tergantung pada waktu sejak infeksi. Pada hari pertama infeksi, kemungkinan kehilangan diagnosis, yaitu, hasil negatif palsu, adalah 100%.

Pada hari ke 4 setelah terpapar virus, kemungkinan hasil negatif palsu berkurang menjadi 67% dan hari ke 8, berkurang hingga 20% tetapi meningkat lagi sesudahnya. Pada 3 minggu setelah paparan, peluang hasil negatif palsu mencapai 66%.

Hasil menunjukkan bahwa virus ini sulit dideteksi oleh RT-PCR pada hari-hari awal infeksi yang menunjukkan pengujian akan menawarkan nilai terbatas selama periode ini (3-5 hari pasca infeksi).

Para penulis merekomendasikan agar tidak membuat keputusan besar, seperti melepas alat pelindung diri (APD) atau mengakhiri karantina, berdasarkan hasil yang diperoleh pada periode ini.

Mereka mengatakan bahwa delapan hari setelah paparan, yang kira-kira setara dengan 3 hari setelah timbulnya gejala, adalah waktu yang optimal untuk pengujian. Pada saat ini, risiko mendapatkan hasil negatif palsu adalah yang terendah, meskipun masih ada peluang 1 banding 5 untuk mendapatkan hasil seperti itu.

Para peneliti mengatakan bahwa alasan tingkat negatif palsu yang begitu tinggi, di luar kesalahan yang berhubungan dengan teknik, termasuk perbedaan dalam jumlah materi genetik virus dalam sampel orang dan perbedaan dalam teknik pengumpulan sampel.

Atas dasar temuan mereka, para penulis mengatakan bahwa penting untuk berhati-hati ketika menafsirkan hasil tes RT-PCR untuk SARS-CoV-2.