100 Persen Berbahan Alam., Kain Gambo Menawarkan Solusi Atasi Kerusakan Lingkungan
- Kain Gambo terbuat sepenuhnya dari bahan alam, penggunaannya dapat mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Nasional
JAKARTA - Untuk melawan kerusakan lingkungan hidup yang mengancam bumi, Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) dan Hutan Itu Indonesia perkenalkan kerajinan khas Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Kain Gambo. Kain tersebut mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sebagai tren pakaian trendi untuk berkontribusi menjaga lingkungan hidup.
Pengenalan tersebut dilakukan dengan menggelar parade busana “Bangga Berkain Bahan Lokal Alam Indonesia” di Bundaran Hotel Indonesia (HI).
“Kain Gambo 100% berbahan dasar asli dari alam. Talinya terbuat dari kapas organik dan pewarnaannya menggunakan getah pohon gambir yang diperoleh dari hutan Sumatera Selatan,” ujar Kepala Sekretariat Interim LTKL, Ristika Putri Istanti di Jakarta, pada Minggu, 8 Oktober 2023 seperti dilansir Antara.
- AFPI Bantah Tudingan Kartel Bunga Pinjol, Ini Penjelasan Ekonom
- Pamit Jokowi, Eks Mentan Syahrul: Saya Minta Maaf
- 5 Buku Yang Wajib Dibaca Pengusaha Sebelum Memulai Bisnis
Ristika menjelaskan, karena Kain Gambo terbuat sepenuhnya dari bahan alam, penggunaannya dapat mendorong kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Menurutnya, kesadaran tersebut menjadi motivasi seseorang untuk berkontribusi dalam melawan kerusakan lingkungan. Hal tersebut terjadi karena ketika lingkungan mengalami kerusakan, seperti penebangan pohon gambir atau pohon lain yang digunakan sebagai pewarna alami untuk Kain Gambo, maka produksi Kain Gambo yang memiliki nilai estetika ini akan terancam punah.
Gerakan ini menurut Ristika juga memiliki tujuan untuk mendukung keberlanjutan perajin tenun Kain Gambo dan kriya tradisional berbahan alam lainnya di Indonesia.
Data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Musi Banyuasin mencatatkan omzet pedagang Kain Gambo pada tahun 2022 mencapai Rp2,5 miliar. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2021 yang mencatatkan omzet perdagangan sebesar Rp2 miliar.
“Mereka memproduksi kain secara terbatas mengedepankan asas bangga, sadar, dan cukup. Artinya tidak seperti industri-industri tekstil pembuatan fast fashion mengeksploitasi alam berlebihan,” sebut Ristika.
Ristika juga menyebutkan, para perajin tenun lokal perlu diberdayakan dan didukung dengan membeli produk lokal ketimbang industri tekstil fast fashion yang disebut berkontribusi terhadap peningkatan 10% dari total emisi karbon dunia dan bahkan angka tersebut diprediksi terus meningkat hingga 50% pada 2030.