13 Sapi Bisa Hasilkan Listrik 1.000 Watt, BPPT Kembangkan Teknologi Pengolahan Metana
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi untuk mengolah gas metana menjadi energi
JAKARTA – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi untuk mengolah gas metana menjadi energi.
Kepala BPPT Hammam Riza mengungkapkan, upaya ini menjadi salah satu langkah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Adapun produk yang diolah, yakni biogas dari degradasi limbah organik cair maupun padat.
“Biogas yang mengandung gas metana harus dimanfaatkan agar tidak mengotori lingkungan,” ujarnya dilansir Antara, Selasa, 20 April 2021.
Ia menjelaskan, nilai emisi gas metana lebih banyak 21 kali lipat dibandingkan dengan gas karbondioksida (CO2). Apabila diolah, hal ini bisa menekan emisi metana ke atmosfer.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Tak hanya teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, BPPT juga mengembangkan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk dan sumber air. Hal ini, kata dia, berguna untuk memindahkan curah hujan ke laut agar mengurangi potensi banjir dan tanah longsor.
Di bidang pembangkit listrik, terdapat insinerator modular yang berhubungan dengan sampah. Fungsi dari teknologi ini untuk mencegah terbentuknya gas metana dari proses pembakaran sampah melalui pengolahan secara aerob.
Masih terkait dengan sampah, ada pula teknologi mikro algae untuk menyerap gas karbondioksida pada cerobong industri, teknologi produksi bersih, serta teknologi energi baru dan terbarukan (EBT).
Pengolahan Biogas
Pengolahan limbah organik menjadi biogas sendiri dianggap sebagai salah satu upaya dalam memanfaatkan energi alternatif.
Langkah ini diharapkan bisa mendukung pencapaian bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Yayasan Rumah Energi Rebekka Angelyn mengungkapkan, biogas merupakan salah satu produk paling efektif untuk memanfaatkan energi pengganti gas.
Dalam sebuah konferensi daring beberapa waktu lalu, Rebeka bercerita timnya pernah menguji kotoran hewan untuk dijadikan listrik. Hasilnya, bahan tersebut bisa menghidupkan genset berkapasitas 1.000 Watt jika menggunakan biogas sebesar 12 meter kubik.
Dengan kata lain, feedstock atau jumlah sapi komunal yang dibutuhkan untuk menghidupkan genset ini ada 13 ekor.
Meskipun demikian, ia mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang dihadapi, seperti perbedaan pola perilaku pengguna biogas antardesa, kebijakan dari hulu ke hilir, serta permasalahan biaya untuk pengembangan biogas.
“Untuk bisa mendorong satu juta biogas rumah, dibutuhkan kebijakan dari hulu ke hilir yang pararel,” ungkapnya.
Rebekka pun mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai leading sector, untuk mengajak kementerian terkait, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi, dan Kementerian Lingkungan Hidup untuk turut serta mendukung proyek biogas dan produk turunannya.
Dalam ranah pembiayaan, kata dia, strategi pengembangan biogas bisa menggunakanskema subsidi dan masuk ke pasar. Keterlibatan koperasi, lembaga keuangan mikro, perbankan, dan fintech (financial technology) dinilai penting untuk masuk ke proyek biogas.
Sebab, kata Rebekka, jangka waktu penggunaan biogas oleh masyarakat bisa dalam kurun 15-20 tahun. “Jadi, nilai keekonomian bisa meningkat dari pengolahan limbah menjadi biogas,” ungkapnya.
Dengan demikian, pendapatan lain bisa ikut terdorong dari pemanfaatan biogas, seperti pemanfaatan pupuk yang dikenal dengan nama (bioslurry).