2 Catatan Penting Indef Tanggapi Target Jokowi pada 2022
- Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan bahwa setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi pemerintah tahun depan, yaitu terkait tekanan inflasi dan nilai tukar Rupiah.
Industri
JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan bahwa setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi pemerintah tahun depan, yaitu terkait tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah.
Hal itu disampaikan Eko untuk menanggapi Pidato Kenegaraan dan pembacaan Nota Keuangan Ranancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 oleh Presiden Joko Widodo di hadapan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-76 Kemerdekaan RI di Jakarta, Senin, 16 Agustus 2021.
Dalam pernyataannya, Jokowi menyebut bahwa tingkat inflasi pada tahun 2022 diperkirakan berada di level 3%. Jokowi berharap tingkat inflasi tahun depan bisa menggambarkan kenaikan permintaan.
- 10 Bank Pemilik Aset Terbesar di Indonesia 2021, Bank Mandiri Kudeta BRI
- Raup Pendapatan Rp4,14 Triliun dari Jual Perhiasan Emas, Hartadinata Untung Rp171 Miliar
- Tarif Tes PCR Resmi Turun 45 Persen, Ini Rincian Harga untuk Jawa dan Luar Jawa
Menurut Eko, proyeksi inflasi 3% adalah sinyal dari perbaikan pertumbuhan ekonomi karena di era pertumbuhan biasanya akan diikuti dengan peningkatan inflasi.
Lagipula, kata dia, inflasi di Indonesia biasanya relatif pelan dan tidak terjadi secara tiba-tiba karena pemulihan ekonomi juga dipastikan berjalan perlahan tahun depan.
Dia menjelaskan bahwa ketika daya beli masyarakat terpukul di kala pandemi, maka saat terjadi pemulihan produsen tidak akan segera menaikkan harga karena daya beli masyarakat juga belum langsung pulih.
Namun dia mewaspadai adanya tekanan terhadap inflasi pangan pada saat pemulihan ekonomi terjadi tahun depan. Menurut dia, hal itu yang harus menjadi prioritas perhatian pemerintah terutama aspek aksesibilitas.
"Ketika demand (permintaan) meningkat tidak semua daerah punya stok cukup untuk menyuplai pasar, sehingga ada daerah-daerah yang minus dan menjadi efek inflatoir," ujarnya dalam diskusi virtual, Selasa, 17 Agustus 2021.
Selain inflasi, Eko memandang bahwa nilai tukar rupiah juga akan menjadi tantangan bagi pemerintah tahun depan. Namun, sebetulnya, lanjut dia, tantangan itu bisa sekaligus menjadi peluang bagi Indonesia.
Menurut dia, nilai tukar rupiah menjadi tantangan ketika terjadi pemulihan ekonomi di negara-negara maju lebih cepat sehingga akan ada kemungkinan terjadinya aliran modal ke luar (capital outflow) akibat lambatnya pemulihan ekonomi dalam negeri.
"Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia (BI) dalam mengendalikan rupiah pada 2022," katanya.
Dia memperkirakan BI rate tidak akan turun lebih dulu bahkan kemungkinan naik bila terjadi gejolak di pasar keuangan.
Jokowi telah menetapkan nilai tukar rupiah tahun depan di kisaran Rp14.350 per dolar Amerika Serikat (AS). Taksiran itu, kata dia, merupakan gambaran dari optimisme pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Menurut Eko, pemulihan ekonomi yang cepat di negara-negara maju juga bisa menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mendorong ekspor yang lebih besar. Hal mana sudah mulai terlihat pada kuartal II-2021 dimana kran ekspor mulai gendut.
"Dari situlah ada peluang untuk menghasilkan devisa dan memberi bantalan pada penguatan nilai tukar. Harus ditinjau lagi mana yang lebih di antara aspek tantangan dan peluang tersebut," tandasnya
Sebelumnya, Jokowi menetapkan RAPBN 2022, belanja negara mencapai Rp2.708,7 triliun atau 15,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rinciannya, belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.938,3 triliun serta transfer ke daerah dan Dana Desa Rp770,4 triliun.
Sementara itu, pendapatan negara pada RAPBN 2022 diproyeksikan mencapai Rp1.840,7 triliun yang terdiri dari penerimaan pajak sebesar Rp1.506,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp333,2 triliun.*