Ilustrasi bank.
Perbankan

20 BPR Dicabut Izinnya, OJK Terbitkan 3 Aturan Baru untuk Bank Perkreditan Rakyat

  • Sepanjang tahun 2024, OJK mencatat pencabutan izin usaha terhadap 20 BPR dan BPRS. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas industri perbankan rakyat. Pencabutan dilakukan setelah pemegang saham dan pengurus bank tidak mampu melaksanakan upaya penyehatan sesuai rencana yang diawasi oleh OJK.

Perbankan

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia hingga 17 Desember 2024. Di sisi lain, OJK juga meluncurkan tiga Peraturan OJK (POJK) baru yang dirancang untuk meningkatkan tata kelola, transparansi, dan kualitas aset di sektor ini.

Pencabutan Izin Usaha 20 BPR/BPRS di 2024

Sepanjang tahun 2024, OJK mencatat pencabutan izin usaha terhadap 20 BPR dan BPRS. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas industri perbankan rakyat. Pencabutan dilakukan setelah pemegang saham dan pengurus bank tidak mampu melaksanakan upaya penyehatan sesuai rencana yang diawasi oleh OJK.

“Pencabutan izin usaha dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen dan memperkuat industri BPR/BPRS. Langkah ini diambil setelah upaya penyehatan, seperti penambahan modal dan aksi korporasi, tidak membuahkan hasil,” jelas Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Jumat, 3 Januari 2025.

Dalam proses penyehatan, OJK memantau rencana tindak penyehatan yang dilakukan BPR/BPRS serta pemegang saham pengendali (PSP). Upaya ini melibatkan koreksi melalui setoran modal tambahan, konsolidasi, atau langkah lainnya yang bertujuan mengembalikan status bank ke pengawasan normal. 

Namun, jika rencana tersebut tidak terealisasi dalam waktu satu tahun, sesuai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), maka bank tersebut memasuki tahap resolusi atau dicabut izinnya.

Industri BPR dan BPRS Masih Stabil

Meski ada pencabutan izin terhadap 20 bank, OJK memastikan bahwa mayoritas BPR dan BPRS di Indonesia saat ini berada dalam status pengawasan normal. Dian menekankan bahwa fokus pengawasan OJK bertujuan untuk menciptakan industri yang sehat, tangguh, dan dapat diandalkan. Pendekatan ini mencakup deteksi dini terhadap permasalahan yang mungkin membahayakan kelangsungan usaha bank.

“Hampir seluruh BPR/BPRS di Indonesia tercatat dengan status pengawasan normal. Kami terus berkomitmen menjaga stabilitas industri ini melalui pengawasan yang intensif dan berbasis teknologi,” ujar Dian.

Penerbitan Tiga POJK Baru untuk Penguatan Industri

Sebagai bagian dari upaya memperkuat sektor BPR dan BPRS, OJK mengeluarkan tiga Peraturan OJK (POJK) baru pada akhir 2024. Ketiga regulasi ini dirancang untuk meningkatkan tata kelola, transparansi, dan kualitas aset bank, baik konvensional maupun syariah.

  1. POJK Nomor 23 Tahun 2024 – Mengatur pelaporan melalui Sistem Pelaporan OJK (APOLO) dan transparansi kondisi keuangan bagi BPR dan BPRS.
  2. POJK Nomor 24 Tahun 2024 – Mengatur kualitas aset BPR Syariah untuk memastikan pengelolaan aset yang sehat dan kompetitif.
  3. POJK Nomor 25 Tahun 2024 – Mengatur tata kelola syariah bagi BPR Syariah, termasuk peran Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Baca Juga: Industri BPR Dihimpit Kredit Macet, NPL Melesat Drastis dalam Setahun Terakhir

Digitalisasi Pelaporan dan Transparansi Keuangan

POJK Nomor 23 Tahun 2024 memfokuskan pada penguatan transparansi dan efisiensi pelaporan. Seluruh pelaporan BPR dan BPRS kini dilakukan secara digital melalui Aplikasi Pelaporan Online Otoritas Jasa Keuangan (APOLO). Regulasi ini menggantikan beberapa aturan lama, seperti POJK Nomor 48/POJK.03/2017 dan POJK Nomor 13/POJK.03/2019.

“POJK ini menyederhanakan proses pelaporan dengan mengurangi beban administrasi. Transparansi keuangan juga ditingkatkan melalui akses publik terhadap laporan tahunan dan laporan keuangan yang dipublikasikan di situs web BPR/BPRS,” jelas Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi melalui pengumuman tertulis, dikutip Jumat, 3 Januari 2025.

Peningkatan Kualitas Aset BPR Syariah

POJK Nomor 24 Tahun 2024 berfokus pada pengelolaan aset BPR Syariah yang lebih prudent dan sesuai prinsip syariah. Aturan ini mencakup pengelolaan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), penghapusan buku, serta penyelarasan dengan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Privat (SAK EP) yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

“Kami menambahkan pengaturan baru untuk memastikan pengelolaan aset yang lebih sehat dan sesuai prinsip syariah. Ini termasuk pengelolaan aset produktif dan nonproduktif, serta kebijakan restrukturisasi pembiayaan,” tambah Ismail.

Penguatan Tata Kelola Syariah

POJK Nomor 25 Tahun 2024 menegaskan pentingnya penerapan tata kelola syariah. Peraturan ini memperkuat peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam memastikan kepatuhan syariah di seluruh aktivitas perbankan. Direksi dan Dewan Komisaris BPR Syariah juga diwajibkan mendukung pelaksanaan tugas DPS, sehingga kepatuhan syariah menjadi tanggung jawab bersama.

“Kami ingin memastikan bahwa prinsip-prinsip syariah diterapkan secara konsisten di semua lapisan organisasi. Langkah ini sejalan dengan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah 2023-2027,” jelas Ismail.

Proyeksi Pertumbuhan di 2025

Dian optimis bahwa sektor BPR dan BPRS akan terus berkembang pada tahun 2025. Penguatan pengawasan dan dukungan regulasi diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta kepercayaan masyarakat terhadap perbankan rakyat.

“Dengan pengawasan yang tepat, kami berharap BPR dan BPRS dapat berkontribusi lebih besar dalam mendukung perekonomian daerah dan nasional,” tukas Dian.