3 Jurus Pemerintah Geber Migas Nonkonvensional
Indonesia memiliki potensi Migas Nonkonvensional (MNK) berupa Coal Bed Methane CBM sebesar 453,30 Trillion Cubic Feet (TCF) dan Shale Gas sebesar 574 TCF.
Industri
JAKARTA – Indonesia memiliki potensi Migas Nonkonvensional (MNK) berupa Coal Bed Methane CBM sebesar 453,30 Trillion Cubic Feet (TCF) dan Shale Gas sebesar 574 TCF.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengaku perkembangannya belum optimal. Pasalnya, mulai 2017 hingga saat ini, tidak terdapat tandatangan kontrak Wilayah Kerja (WK) sama sekali untuk MNK.
Dari 54 kontrak WK gas metana batu bara yang ditandatangani periode 2008-2012, ungkapnya, saat ini hanya tersisa 20 WK yang eksisting.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Sementara itu, enam kontrak MNK yang ditandatangani pada 2013-2016, hanya tersisa 4 MNK eksisting. Tahun selanjutnya tidak ada,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 10 Mei 2021.
Aturan Pengembangan MNK
Oleh karena itu, Tutuka menegaskan, pemerintah telah menetapkan tiga rencana dalam pengembangan MNK Indonesia.
Aturan tersebut diharapkan dapat mendukung pencapaian target produksi minyak sebesar satu juta barel dan gas 12 BCFD pada 2030.
Adapun yang pertama, terkait revisi atau penghapusan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2012.
Dalam aturan yang baru, ujar Tutuka, WK eksisting bisa langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi MNK tanpa kontrak baru.
“Aturan ini telah disosialisasikan dengan stakeholder pada 17 Maret 2021,” tambahnya. Targetnya, implementasi aturan ini akan diterapkan pada pertengahan Mei tahun ini.
Kedua, pelaksanaan studi MNK di seluruh WK aktif. Dalam hal ini, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) diharapkan untuk melakukan inventarisasi WK eksplorasi maupun eksploitasi.
Studi ini berfungsi untuk menentukan tingkat potensi MNK sehingga Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bisa langsung mengeksekusi pengeboran produksi.
Kemudian rencana ketiga adalah pilot project produksi MNK di WK potensial.
“Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasinya pengeboran,” ungkapnya.
Tutuka menjelaskan, ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini, yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery dengan estimasi biaya per sumur sebesar US$22 juta. (LRD)