<p>Pekerja menyelesaikan proses pembuatan produk olahan jahe di industri rumahan kawasan Bugel, Kota Tangerang, Banten, Jum&#8217;at, 2 Oktober 2020. Produk Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) olahan jahe yang dijadikan sirup, serbuk dan permen jahe ini mendapatkan berkah ditengah pandemi, produksi dan penjualan meningkat tajam. Produk berbahan jahe menjadi tren dikalangan warga ditengah wabah corona. Warga mencari sirup olahan jahe untuk menjaga stamina  dan imunitas tubuh disaat pandemi Covid-19. Produk olahan jahe ditempat ini dijual dari harga Rp3 ribu hingga Rp35 ribu per buah. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Industri

3 Jurus UMKM Pulih dan Naik Kelas

  • JAKARTA – Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Ina Primiana memaparkan ada tiga masalah utama yang menghambat akselarasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ketiganya antara lain minimnya pusat data (database), kemampuan bersinergi, dan keterkaitan (linkage). Hal tersebut menyulitkan UMKM di Tanah Air untuk bangkit dan naik kelas di tengah krisis akibat pandemi. […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) Ina Primiana memaparkan ada tiga masalah utama yang menghambat akselarasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ketiganya antara lain minimnya pusat data (database), kemampuan bersinergi, dan keterkaitan (linkage). Hal tersebut menyulitkan UMKM di Tanah Air untuk bangkit dan naik kelas di tengah krisis akibat pandemi.

“Ketiga masalah utama itu harus diselesaikan dengan kolaborasi yang kuat antar seluruh pemangku kepentingan di Indonesia,” kata Ina dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 23 Oktober 2020.

Pertama, menurut Ina, ketiadaan database membuat kebijakan pemberdayaan UMKM selama ini tidak berjalan maksimal. Dengan adanya database, pemetaan terkait perkembangan UMKM akan mudah terlacak, sehingga bantuan akselarasinya lebih tepat sasaran.

“Pada akhirnya ini bisa digunakan sebagai alat membantu UMKM sesuai sektor masing-masing (stakeholders). Harusnya ada data komprehensif untuk bisa dibaca siapapun baik di tingkat pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota,” ujar Ina.

Kedua, seluruh pemangku kepentingan harus mampu bersinergi lebih kuat dalam membantu UMKM. Sinergi dibutuhkan karena saat ini ada puluhan instansi negara dan daerah yang memiliki kewenangan mengurus UMKM.

Ina berpendapat, banyaknya instansi yang terlibat dalam pengembangan UMKM harus diimbangi dengan kejelasan pembagian tugas di antara mereka. Pembagian peran tersebut bisa mengurangi potensi terjadinya tumpang tindih program dan penyaluran bantuan kepada pelaku UMKM.

Sinergi antar instansi juga dipercaya menjadi pintu masuk untuk mengembangkan kualitas produk UMKM Indonesia. “Percuma jika digitalisasi sudah dilakukan pelaku UMKM tetapi tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas produk mereka.”

Ketiga, yang harus diselesaikan adalah minimnya keterkaitan (linkage) antara UMKM dan pemerintah atau pelaku industri besar. Mantan Komisaris Utama PT Pegadaian (Persero) ini menyebut, pembangunan jaringan atau link antara UMKM dan pemerintah serta pelaku usaha besar harus dilakukan untuk membantu penyerapan produk pelaku usaha kecil dan mikro.

Formalisasi UMKM

Terakhir, Ina menyoroti masih besarnya pekerjaan rumah Indonesia agar bisa mendorong pelaku UMKM yang mayoritas di sektor informal agar menjadi formal. Formalisasi usaha dipercaya bisa memberikan kepastian hukum, pendanaan, perluasan pasar, dan peningkatan kualitas produk UMKM.

Perihal UMKM yang mayoritas bergerak di sektor informal juga disoroti ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susamto. Menurut Akbar, harus ada pendekatan berbeda apabila pemerintah ingin bantuan bagi pengusaha mikro dan kecil yang belum tersentuh layanan keuangan formal (unbankable) terserap optimal.

“Usaha Ultra Mikro, mikro dan kecil biasanya unbankable. Maka mestinya bantuan kepada mereka dibuat agar mudah terjangkau. Sementara skema dukungan UMKM selama ini kan mayoritas basisnya masih melalui bank, dan otomatis hanya bisa dijangkau pelaku usaha yang bankable atau formal,” ujar Akbar beberapa saat lalu.

Sebagai catatan, lembaga riset McKinsey & Company baru saja merilis proyeksinya ihwal potensi sumbangan sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) 10 tahun mendatang. McKinsey menyebut sektor UMKM bisa menyumbang PDB hingga US$140 miliar apabila mampu memaksimalkan pemanfaatan teknologi dan mendapat pendampingan yang cukup dalam menjalani bisnisnya.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM, saat ini 98,7%usaha di Indonesia masuk kategori mikro. Setelah itu, ada 1,2% usaha kategori kecil, 0,09% usaha menengah, dan 0,01% usaha besar.

Dari 64,19 juta pelaku UMKM, ada 64,13 juta pengusaha mikro dan kecil yang bergerak di sektor informal. UMKM dan UMi di Indonesia menyerap 97% total tenaga kerja atau 116.978.631 orang. Kontribusinya terhadap PDB Indonesia mencapai 60,90%.