3 Pelajaran Berharga dari Buku The Art of Thinking Clearly
- JAKARTA - The Art of Thinking Clearly adalah buku karangan penulis asal Swiss, Rolf Dobelly yang pertama kali diterbitkan tahun 2011. Buku ini pertama terbit da
Gaya Hidup
JAKARTA - The Art of Thinking Clearly adalah buku karangan penulis asal Swiss, Rolf Dobelly yang pertama kali diterbitkan tahun 2011. Buku ini pertama terbit dalam bahasa Jerman dengan judul Die Kunst des klaten Denks. Tak butuh waktu lama, buku ini langsung meraih popularitasnya dan mulai diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Sukses menjadi buku best seller, buku The Art of Thinking Clearly bahkan direkomendasikan oleh Kepala Staf Angkatan Udara AS, Ronald sebagai bacaan wajib untuk CSAF. Hingga sekarang, buku ini masih menjadi rujukan banyak pihak dalam melakukan riset serta penilaian.
Pada dasarnya, buku nonfiksi ini membahas mengenai 99 kesalahan berpikir yang paling umum dialami oleh seseorang. Kesalahan-kesalahan ini mulai dari bias kognitif hingga kecemburuan dan distorsi sosial.
- Jejak Biaya Promosi Ratusan Miliar di Bank Milik Dato’ Sri Tahir Selalu Kempes di Akhir Tahun
- Restrukturisasi Utang Waskita Beton (WSBP) ke Bank DKI Tidak Disetujui Pemegang Obligasi
- 7 Tips Gaya Hidup Sehat untuk Menjaga Kesehatan Keluarga
Buku ini juga mengungkapkan rahasia-rahasia dalam pengambilan keputusan sehari-hari dalam berbagai lini kehidupan seseorang dari perspektif psikologi dan perilaku manusia. Dari buku ini, kita dapat mulai belajar untuk memilih dan mengambil keputusan dengan lebih jernih.
Di kesempatan kali ini, Tren Asia merangkum 3 pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari buku The Art of Thinking Clearly:
1. Kita Cenderung Berpikir dapat Mengubah Hal-Hal Diluar Kontrol
Ilusi kontrol adalah bias yang menggambarkan bagaimana kita percaya bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengubah situasi yang bahkan sebenarnya berada di luar kendali kita. Hal ini pada akhirnya mungkin memberi kita banyak harapan yang nantinya membuat kita merasa kecewa.
Sebuah penelitian mencoba mengidentifikasi seberapa besar harapan muncul dari ilusi kontrol. Peneliti membagi peserta menjadi dua kelompok. Masing-masing diminta untuk masuk ke dua box yang berbeda. Box pertama berisi tombol "panik" berwarna merah yang dapat ditekan ketika peserta merasa tidak dapat menahan kebisingan karena terlalu keras sedangkan box kedua tidak memiliki tombol apapun.
Peneliti lalu memberikan suara yang tingkat kebisingannya semakin meningkat hingga peserta merasa terganggu. Hasilnya, meskipun tombol dalam box tersebut tidak berfungsi apapun, peserta dalam box pertama mampu menahan lebih banyak kebisingan daripada mereka yang berada di box kedua.
Kesimpulannya, berhati-hatilah dengan prediksi Anda. Daripada mencemaskan apa yang tidak bisa Anda kendalikan, fokuslah hanya pada apa yang Anda tahu bisa Anda kendalikan.
2. Tips Perbandingan untuk Menentukan Nilai
Sesederhana membawa teman Anda yang lebih cantik dan menarik saat pergi berkencan adalah ide yang buruk, karena teman Anda akan terlihat lebih menarik dan ini membuat Anda terlihat kurang menarik dari yang sebenarnya.
Kita kerap mengandalkan perbandingan dalam membuat keputusan. Kita kerap memilih opsi yang terlihat baik daripada berpikir logis dan menganalisa pro dan kontra yang sebenarnya.
3. Terlalu Banyak Pilihan Membuat Kita Sulit Memilih
Sebuah penelitian yang berjudul When Choice is Demotivating: Can One Desire Too Much of a Good Thing? yang diterbitkan pada tahun 2000 melakukan percobaan dengan menjual 24 jenis jeli di supermarket. Keesokan harinya, mereka hanya memajang enam jenis jeli untuk dicicipi dan dibeli pelanggan dengan harga diskon. Hasilnya, pada hari kedua penjualan meningkat hingga sepuluh kali lipat dari hari pertama.
Fenomena ini disebut paradoks pilihan, seringkali daripada mencoba membuat pilihan di antara banyak opsi yang berbeda, seseorang cenderung memilih opsi yang lebih mudah untuk tidak membuat pilihan sama sekali.