Pekerja menunjukkan tembakau di gerai Kamarasa yang menjual tembakau dengan berbagai varian di kawasan Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu, 5 Januari 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Nasional

3 Rekomendasi Pusat Ekonomi UB untuk Jaga Stabilitas Industri Hasil Tembakau

  • Menurut Prof. Dr. Candra Fajri Ananda, rokok golongan 1 menunjukkan elastisitas harga yang negatif, yang berarti lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan dengan rokok golongan 2 dan 3. Hal ini menandakan bahwa konsumen rokok dari golongan 1 lebih cepat merespons kenaikan harga dengan mengurangi pembelian atau beralih ke rokok yang lebih murah.

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Hasil kajian dari Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) mengungkapkan bahwa kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi justru dapat memicu peredaran rokok ilegal. Penelitian ini juga menyoroti adanya hubungan yang signifikan antara elastisitas harga dengan permintaan rokok di Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Candra Fajri Ananda, rokok golongan 1 menunjukkan elastisitas harga yang negatif, yang berarti lebih sensitif terhadap perubahan harga dibandingkan dengan rokok golongan 2 dan 3. Hal ini menandakan bahwa konsumen rokok dari golongan 1 lebih cepat merespons kenaikan harga dengan mengurangi pembelian atau beralih ke rokok yang lebih murah.

"Analisis ini sejalan dengan tren yang terjadi di industri hasil tembakau (IHT), di mana penurunan produksi terbesar terjadi pada golongan 1. Ini berdampak langsung pada penurunan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT)," ungkap Prof. Dr. Candra Fajri melalui keterangan tertulis yang diterima TrenAsia, Minggu, 29 September 2024. 

Beliau menambahkan bahwa kenaikan tarif cukai yang membuat harga rokok golongan 1 semakin mahal berpotensi memicu konsumen untuk beralih ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah. Konsumen cenderung memilih produk dengan cukai lebih rendah.

"Pada kenyataannya, total konsumsi rokok tidak berkurang, melainkan terjadi pergeseran dari rokok mahal ke yang lebih murah," tambahnya.

Hubungan Produksi Rokok Golongan 2 dan 3 dengan Peredaran Rokok Ilegal

Prof. Dr. Candra Fajri juga menyebutkan adanya hubungan negatif yang kuat antara volume produksi rokok golongan 2 dan 3 dengan peredaran rokok ilegal. Ketika volume produksi rokok golongan 2 dan 3 meningkat, peredaran rokok ilegal cenderung menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan rokok yang lebih terjangkau dapat menekan pasar rokok ilegal.

"Dari penelitian yang kami lakukan, terlihat bahwa kenaikan harga rokok akibat tarif cukai tidak serta-merta mengurangi konsumsi. Konsumen akan berpindah ke produk ilegal yang lebih murah," tegasnya.

Studi ini juga menemukan bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai beberapa tahun terakhir telah mencapai titik jenuh, di mana kenaikan lebih lanjut tidak efektif dalam mengurangi konsumsi rokok. Alih-alih mengurangi konsumsi, konsumen justru beralih ke rokok ilegal atau produk dengan harga yang lebih rendah, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan penerimaan cukai negara.

Dampak Negatif Kenaikan Tarif Cukai yang Berlebihan

Prof. Dr. Candra Fajri menjelaskan bahwa peredaran rokok ilegal meningkat seiring dengan naiknya harga rokok akibat tarif cukai yang terus meningkat. Meskipun pemerintah telah melakukan operasi penindakan terhadap rokok ilegal, data menunjukkan bahwa saat harga rokok naik, jumlah rokok ilegal di pasaran turut bertambah.

Penelitian PPKE FEB UB pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% konsumen rokok pernah membeli rokok polos yang tidak memiliki pita cukai. Selain itu, simulasi yang dilakukan PPKE memperlihatkan bahwa kenaikan tarif cukai dari 0% hingga 50% akan mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal, dari 6,8% menjadi 11,6%.

Simulasi juga memperkirakan bahwa potensi penerimaan cukai yang hilang akibat peredaran rokok ilegal meningkat seiring kenaikan tarif cukai, dari Rp4,03 triliun tanpa kenaikan cukai (0%) menjadi Rp5,76 triliun jika cukai dinaikkan sebesar 50%. Angka ini dihasilkan dengan asumsi bahwa pengawasan dan penindakan terhadap rokok ilegal masih dilakukan sebagaimana saat ini.

"Kebijakan cukai yang terlalu ketat bisa memperparah peredaran rokok ilegal dan menyebabkan kerugian besar bagi negara," ungkap Prof. Dr. Candra Fajri.

Baca Juga: Ancam Dunia Usaha, Menkes Kaji Ulang Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

Tiga Rekomendasi PPKE FEB UB untuk Pemerintah

Dalam rangka menjaga keseimbangan di sektor IHT, PPKE FEB UB merekomendasikan tiga langkah penting bagi pemerintah:

  1. Moratorium Kenaikan Tarif Cukai
    Pemerintah diharapkan untuk menunda kenaikan tarif cukai guna menjaga keberlangsungan industri tembakau dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal. Di sisi lain, penerimaan negara serta sektor tenaga kerja yang bergantung pada IHT juga perlu diperhatikan.
  2. Tarif Cukai yang Seimbang
    Jika tujuan kenaikan tarif cukai adalah untuk mencapai keseimbangan kebijakan IHT, maka PPKE merekomendasikan agar tarif cukai ditetapkan di kisaran 4% hingga 5% dari tarif yang berlaku saat ini. Tarif ini dianggap ideal karena masih mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, sekaligus menekan risiko peningkatan peredaran rokok ilegal.
  3. Penegakan Hukum dan Penyesuaian Harga
    Pemerintah perlu terus meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Selain itu, penyesuaian harga rokok perlu dilakukan berdasarkan daya beli masyarakat agar kebijakan tarif cukai dapat memberikan solusi yang adil bagi konsumen, produsen, dan penerimaan negara.

Dukungan GAPPRI dan Tanggapan Bea Cukai

Menanggapi hasil kajian PPKE FEB UB, Sekjen Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Petrus Riwu, mengatakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok di atas 10% setiap tahun akan menyebabkan masyarakat beralih ke rokok yang lebih murah atau bahkan rokok ilegal, terutama untuk golongan 2 dan 3.

"GAPPRI merekomendasikan moratorium kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027. PPN juga tidak seharusnya dinaikkan untuk menjaga keberlangsungan pemulihan industri dan daya beli masyarakat. Selain itu, operasi penindakan rokok ilegal harus diperkuat untuk menekan peredarannya," ujar Petrus Riwu.

Kepala Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I, Untung Basuki, menambahkan bahwa saat ini peredaran rokok ilegal telah menyebar ke berbagai wilayah seperti Makassar, Lampung, dan Kalimantan. Meskipun penindakan terhadap rokok ilegal telah meningkat, diperlukan strategi berbeda sesuai wilayah produksi dan distribusi rokok ilegal.

Menurutnya, tantangan utama dalam pengawasan rokok ilegal semakin besar, terutama karena distribusi melalui jalur logistik yang lebih kompleks, seperti e-commerce.

"Salah satu strategi penting Bea Cukai adalah fokus pada rokok ilegal yang salah peruntukan dan penggunaan personalisasi yang tidak sesuai agar dapat dimitigasi," jelasnya.

Teknologi, seperti penggunaan QR code pada pita cukai, dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengurangi peredaran rokok ilegal.