Ilustrasi PHK
Nasional

32 Ribu Orang Kena PHK dalam 6 Bulan, Jakarta Paling Banyak

  • DKI Jakarta mencatat jumlah PHK tertinggi, tercatat 7.469 pekerja yang terkena dampak. Angka ini sangat kontras dibandingkan dengan tahun 2023, di mana hanya tercatat 683 kasus PHK di ibu kota.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Data terbaru yang dipaparkan Kementerian Ketenagakerjaan mengungkap peningkatan jumlah pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada semester pertama 2024. Dari bulan Januari hingga Juni 2024, tercatat sebanyak 32.064 pekerja mengalami PHK.

 Angka tergolong naik drastis, dengan presentase peningkatan sebesar 21,45% dibandingkan semester 1 pada tahun 2023, di mana jumlah PHK mencapai 26.400 orang.

DKI Jakarta Jadi Momok PHK

DKI Jakarta mencatat jumlah PHK tertinggi, tercatat 7.469 pekerja yang terkena dampak. Angka ini sangat kontras dibandingkan dengan tahun 2023, di mana hanya tercatat 683 kasus PHK di ibu kota. 

Lonjakan drastis ini menjadikan DKI Jakarta sebagai provinsi dengan jumlah PHK tertinggi di Indonesia pada semester pertama 2024.

“Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sekitar 23,29% dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporkan,” papar Kemenaker, dalam siaran resmi, dilansir, Jumat, 2 Agustus 2024.

Provinsi lain yang juga mencatat angka PHK yang tinggi antaralain Banten dengan 6.135 kasus, Jawa Barat 5.155 kasus, Jawa Tengah 4.275 kasus, Sulawesi Tengah 1.812 kasus, dan Bangka Belitung dengan 1.527 kasus.

Ketimpangan dengan PDB yang Tinggi

Meski mengalami lonjakan PHK yang cukup drastis, DKI Jakarta sebenarnya memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tergolong tinggi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, PDRB ibu kota mencapai Rp896,1 triliun dengan pertumbuhan sebesar 4,78 persen pada kuartal I-2024. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pasar tenaga kerja.

Beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab lonjakan PHK di Jakarta dan provinsi lainnya. Pertama, ketidakstabilan ekonomi global yang berdampak pada sektor-sektor industri tertentu di Indonesia.

Kedua, perubahan kebijakan ekonomi yang mempengaruhi iklim usaha dan lapangan kerja. Selain itu, otomatisasi dan digitalisasi yang cepat juga turut mengurangi kebutuhan tenaga kerja di beberapa sektor.

Menteri Investasi/kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, menyatakan fenomena PHK massal sebagian besar disebabkan oleh rendahnya produktivitas pekerja. Biaya produksi yang tinggi tidak sebanding dengan produktivitas mengakibatkan tekanan finansial pada perusahaan, yang akhirnya terpaksa melakukan efisiensi.

"Kita harus hargai buruh, menghargai buruh kerja dengan upah layak, tapi juga buruh juga harus mengerti, kalau industri enggak jalan bagaimana pabrik mau survive (bertahan)," papar Bahlil dalam Konpers Realisasi Investasi Semester I-2024 di Kementerian BKPM.

Dampak dari lonjakan PHK ini sangat signifikan, terutama bagi para pekerja dan keluarganya. Selain kehilangan pendapatan, mereka juga menghadapi tantangan dalam mencari pekerjaan baru di tengah persaingan yang ketat. 

Kondisi ini bisa berujung pada peningkatan angka pengangguran dan penurunan daya beli masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah strategis dari pemerintah dan pelaku industri. 

Pemerintah perlu memberikan insentif bagi perusahaan untuk mempertahankan tenaga kerja, serta mendorong pelatihan dan peningkatan keterampilan bagi pekerja yang terkena PHK. Selain itu, diperlukan kebijakan yang mendukung stabilitas ekonomi dan iklim usaha yang kondusif.

Pelaku industri juga perlu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan pasar, serta mencari cara untuk meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan tenaga kerja. Kerjasama antara pemerintah, industri, dan pekerja sangat penting untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.

"Masalah alat juga karena mesinnya tua, yang kedua biaya ekonominya sudah tinggi dibandingkan negara lain," tambah Bahlil.

Lonjakan jumlah PHK pada semester pertama 2024 menjadi peringatan serius bagi pemerintah dan pelaku industri. DKI Jakarta, sebagai pusat ekonomi Indonesia, mengalami dampak yang paling parah meski memiliki PDRB yang tinggi. 

Langkah-langkah strategis dan kerjasama yang solid diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan menjaga stabilitas pasar tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.