<p>Pertandingan Icuk Sugiarto (kiri) dan Liem Swie King pada 8 Mei 1983 /Youtube</p>
Gaya Hidup

37 Tahun Lalu, Icuk dan King Ciptakan Pertarungan Terbesar di Dunia Bulu Tangkis

  • Jakarta- Pada 8 Mei 1983 atau tepat 37 tahun lalu, dua pebulutangkis legendaris Indonesia Lim Swie King dan Icuk Sugiarto bertarung dalam final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 1983 di Brondby Hallen Denmark. Sebuah laga yang mendapat sorotan banyak media internasional dan dijuluki sebagai pertarungan terbesar dalam dunia bulu tangkis. Dalam Kejuaraan Dunia ketiga itu Icuk […]

Gaya Hidup
Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

Jakarta- Pada 8 Mei 1983 atau tepat 37 tahun lalu, dua pebulutangkis legendaris Indonesia Lim Swie King dan Icuk Sugiarto bertarung dalam final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 1983 di Brondby Hallen Denmark. Sebuah laga yang mendapat sorotan banyak media internasional dan dijuluki sebagai pertarungan terbesar dalam dunia bulu tangkis.

Dalam Kejuaraan Dunia ketiga itu Icuk Sugiarto, seorang pebulu tangkis yang masih cukup muda secara mengejutkan menumbangkan seniornya yang jauh lebih berpengalaman dan bertabur prestasi di kancah internasional, Liem Swie King. Pertarungan berjalan ketat dan berakhir dengan skor 15-8, 12-15, 17-16.

Kantor Berita Prancis AFP mencatat partai final tersebut sebagai “pertarungan terbesar dalam bulu tangkis dunia.” Sedangkan surat sabar Singapura The Straits Time menyebutnya sebagai “pertarungan yang akan masuk dalam sejarah bulu tangkis sebagai salah satu pertandingan terbaik yang pernah ada.”

Icuk dan King masuk final setelah sukses melewati wakil-wakil China, Denmark dan India yang saat itu merupakan kubu-kubu kuat berbagai ajang tepok bulu dunia.

Pemain Denmark, Morten Frost Hansen, yang kala itu dianggap sebagai pemain terkuat Eropa sukses disingkirkan Icuk di babak perempat final, sementara King menghentikan perlawanan wakil China, Chen Changjie.

Di semifinal Icuk menaklukkan pebulu tangkis top India, Prakash Padukone, 9-15, 15-7, 15-1, sedangkan Han Jian yang menjadi lambang keperkasaan China ditbuat tumbang King 15-9, 15-3.

Sebagian kalangan menganggap laga Icuk vs King sebagai sebuah antiklimaks lantaran kedua pemain tampak lebih santai dan tak seganas di babak-babak sebelumnya.

Benarkah demikian? Tidak juga. Keduanya harus bertarung selama satu jam 33 menit yang  memecahkan rekor durasi.

King mengambil poin set pertama lewat skor 15-8 dalam 21 menit dan pertarungan berangsur menjadi ketat pada set berikutnya diwarnai rally panjang dan upaya kedua atlet menjaga konsistensi permainan. Sayang, kesalahan yang banyak dilakukan King membuat dia harus melewatkan peluang dan Icuk merebut set kedua 12-15.

Set ketiga Icuk dan King terus saling berkejaran-kejaran skor membuat ribuan penonton harus menahan napas. Menit-menit akhir menjadi sangat mendebarkan. Saat kedudukan menunjukkan angka 16-16, lalu King melakukan servis, shuttlecock justru meleset keluar lapangan yang langsung mengantarkan Icuk merebut gelar juara.

Icuk pun luluh dalam kegembiraan. Ia langsung melompat tinggi dan melempar raketnya, kemudian berlari merangkul King yang masih terpaku di tengah lapangan.

Lawan-lawan yang jadi korban Icuk dan King dalam perjalanan menuju final tak bisa memberi reaksi lain kecuali melemparkan pujian atas pertarungan All Indonesian Final tersebut.

“Ini pertandingan terbaik yang pernah saya lihat. Betul, saya belum pernah melihat partai yang begini hebat,” kata Padukone dalam laporan Kompas, 9 Mei 1983.

“Pertandingan tadi menuntut mental yang sangat kuat. Dan begitu seimbang sehingga siapa yang lebih beruntung, dia yang menang. Bayangkan, sampai angka terakhir, kita belum bisa memastikan siapa yang bakal menang,” kata pebulu tangkis China Han Jiang.

Gelar juara dunia pertama Icuk itu diraihnya dalam usia 20 tahun, membuatnya memecahkan rekor sebagai juara dunia termuda, torehan yang hingga kini belum terpecahkan.

Bagi King, yang sebelumnya sudah menjuarai All England pada 1978, 1979 dan 1981, kekalahan dari Icuk menjadi salah satu momen yang tak akan pernah bisa dilupakan. King adalah pemain tunggal putra terbesar Indonesia setelah Rudy Hartono. Ia sangat disegani di dunia bulu tangkis sejak tahun 1976 dan mencatatkan rekor tak terkalahkan selama tahun 1978 dan 1979. Dia juga menjadi salah satu penyokong tiga kemenangan ajang Piala Thomas (1976, 1979, 1984).

“Kekalahan melawan Han Jian sewaktu di Singapura itu cukup menyedihkan. Waktu itu saya hanya kalah satu poin. Juga melawan Icuk Sugiarto di partai final Kejuaraan Dunia 1983 di Copenhagen. Itu pun saya hanya kalah satu poin di set ketiga. Kedua kekalahan ini masih teringat sampai sekarang,” ujar King dalam buku “Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia.”

Icuk dan King memang bertarung sengit untuk menjadi juara dunia malam itu, tetapi Indonesia-lah pemenangnya. Mereka sukses melanjutkan tongkat estafet kejayaan bulu tangkis Merah Putih, yang kembali melambung tiga tahun sebelumnya ketika memborong empat dari lima nomor Kejuaraan Dunia 1980 di Istora Senayan, Jakarta.

Pada masanya, Icuk terkenal sebagai pemain yang memiliki pertahanan kuat, sementara King dikenal dengan tipe permainan agresif dengan jumping smash tajam hingga dia mendapat julukan dijuluki King Smash.

Bagi Icuk yang baru muncul di kejuaraan internasional pada tahun 1981 bahkan belum pernah merasakan mengangkat trofi All England, kemenangan di Kejuaraan Dunia itu bagaikan mimpi semalam.

Pasalnya, setelah menjadi juara dunia, prestasi Icuk malah menurun, bahkan sampai titik terendah. Selama dua tahun setelah menjadi juara dunia, Icuk hanya menjuarai beberapa turnamen seperti Piala Dunia (1985), SEA Games (1985, 1987 dan 1989), serta empat kali menjadi anggota tim Thomas Cup (1984, 1986, 1988, 1990).

Pada turnamen Thomas Cup 1984, ia ikut berperan serta membawa Indonesia berhasil merebut kembali supremasi bulu tangkis beregu itu dari juara bertahan China, bersama Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiayanto, Kartono, Heryanto, Cristian Hadinata, dan Hadibowo.

Sebagaimana dilaporkan dalam buku “Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967-1987)”, titel juara dunia itu dinilai Icuk terlalu cepat, sebab secara psikologis ia belum siap menerima penghargaan setinggi itu.

“Saya terlalu cepat menjadi juara. Harusnya saya baru mencapai prestasi puncak pada 1984 atau 1985. Nyatanya saya menjadi juara dunia sebelum waktunya,” kata Icuk.

Tetapi itu 37 tahun yang lalu, ketika bulu tangkis Indonesia benar-benar sangat disegani di dunia internasional. Sekarang? Silahkan jawab sendiri