Protes warga Kinipan buntut dari konflik agraria dengan perusahaan sawit tahun 2019.
Nasional

5 Konflik Agraria Akibat PSN yang Menanti Penyelesaian

  • Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 73 konflik agraria yang terjadi dalam delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dampak dari proyek strategis nasional (PSN).

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 73 konflik agraria yang terjadi dalam delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dampak dari proyek strategis nasional (PSN). Konflik tersebur menyebar ke banyak sektor mulai tambang, infrastruktur, properti hingga pertanian.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat luas wilayah yang berkonflik agraria adalah ±800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban. Dari luas tersebut, 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI-LBH kantor di seluruh Indonesia. 

Rinciannya 42 kasus dari sektor perkebunan disusul sektor pertambangan sebanyak 37 kasus dan kemudian 35 kasus dengan PSN Sebab terjadinya konflik pada sektor perkebunan yaitu warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan dan melibatkan dua aktor yang kuat, negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki HGU skala luas. 

Sementara itu, sektor PSN yang baru muncul tujuh tahun terakhir menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik. Berikut sejumlah konflik agraria akibat PSN yang menanti penyelesaian.

Kinipan 

Konflik di Kinipan, Kalimantan Tengah meletus saat PT Sawit Mandiri Lestari hendak membuka hutan dengan menebang banyak pohon ulin tahun 2018. Warga Kinipan tak terima. Pemerintah mencoba memberikan solusi untuk warga Kinipan.

Jika ingin dijadikan hutan adat, pemerintah menegaskan ada prosedurnya. Namun, harus didengar juga masyarakat yang menginginkan kebun plasma dari PBS yang menerima izin, seperti dikutip menlhk.go.id.

Seruyan 

Masyarakat Dayak di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menyoroti banyaknya perusahaan perkebunan di sana yang membuka lahan melebihi izin resmi. Hal ini memicu konflik, salah satunya dengan PT Best Agro Internasional.

Sebanyak 12 warga ditetapkan sebagai tersangka terkait perusakan lahan yang diklaim milik perusahaan dalaam konflik yang mengemuka tahun 2012 itu. Hal ini disesalkan mengingat warga mengaku hanya mengelola tanah ulayat, tidak masuk kawasan perusahaan.

Hingga kini Dayak Seruyan tidak pernah mendapat penyelesaian tuntas meski beberapa kali melancarkan aksi protes. Belakangan konflik di Seruyan kembali mengemuka. Kali ini melibatkan warga dengan perusahaan sawit PT Hamparan Mawasit Bangun Persada (HMBP).

Demo berlangsung di area perusahaan PT HMBP 1 di Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya belum lama ini. Warga menuntut 20 persen plasma dan kawasan hutan di luar hak guna usaha (HGU).

Pulau Rempang 

Kisruh di Pulau Rempang menjadi salah satu konflik agraria yang menonjol beberapa waktu terakhir. Konflik bermula usai hadirnya Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) sebagai Otorita Batam. Mereka menjadi pemegang hak pengelolaan seluruh tanah di wilayah tersebut.

BP Batam dengan investor kemudian berencana membikin proyek Rempang Eco City yang mensyaratkaan pengosongan Pulau Rempang. Namun hingga kini ratusan KK di sana masih menolak pindah meski batas pengosongan lahan tinggal beberapa hari. 

Lampung Tengah 

Problem agraria mencuat di Lampung Tengah tahun ini. Itu bermula ketika PT Bumi Sentosa Abadi hendak mengeksekusi lahan warga untuk proyeknya. Warga yang menolak pun bentrok dengan aparat akibat sengketa lahan tersebut. DPRD setempat telah meminta proses pengelolaan lahan PT BSA dan masyarakat berlangsung damai.  

Air Bangis 

Warga Desa Air Bangis menolak industri kilang minyak kelapa sawit seluas 30 ribu hektare di Teluk Tapang belum lama ini. PSN ini bakal menggusur rumah penduduk lantaran lahan yang ditempati warga dadalah milik negara. 

Padahal kawasan itu sudah digunakan untuk penghidupan 45 ribu warga sejak 1970-an. Warga kemudian berdemo di kantor Gubernur Sumatra Barat pada akhir Juli 2023. WALHI Sumatra Barat menegaskan warga memiliki hak kekuasaan hutan lewat pemangku adat. Menurut WALHI, masyarakat Nagari Air Bangis telah hidup di sana sebelum Indonesia merdeka.