5 Kritikan Filsafat Stoikisme, Salah Satunya dari Nietzsche
- Meskipun Stoikisme telah menjadi salah satu aliran filsafat yang sangat dihormati dan diikuti, seperti halnya aliran filsafat lainnya, Stoikisme juga telah menghadapi kontroversi dan kritik.
Sains
JAKARTA – Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani kuno yang pertama kali muncul di Athena pada abad ke-3 SM. Filosofi ini menekankan pada pengendalian diri, penerimaan terhadap takdir, dan ketenangan batin.
Stoikisme dikenal dengan fokusnya pada etika, khususnya dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Para stoik orang yang menamakan dirinya pengikut aliran filsafat ini mengajarkan bahwa orang harus mengendalikan emosi dan menghadapi situasi dengan ketenangan.
Meskipun Stoikisme telah menjadi salah satu aliran filsafat yang sangat dihormati dan diikuti, seperti halnya aliran filsafat lainnya, Stoikisme juga telah menghadapi kontroversi dan kritik. Salah satunya dari Friedrich Nietzsche seorang filsuf Jerman abad ke-19.
- Pasal Tembakau di RPP Kesehatan Ancam Industri Kreatif, Kemenparekraf Berharap Dilibatkan
- Proges 89 Persen, Tol Binjai - Pangkalan Brandan jadi Proyek Contoh Konstruksi Hijau
- Cetak Rekor Tertinggi Tahun Ini, IHSG Sesi I Ditutup Naik 0,56 Persen
Nietzsche yang akrab disapa mengkritik Stoikisme dalam karyanya. Ia menilai bahwa pendekatan Stoikisme terhadap penderitaan dan emosi sebagai sesuatu yang harus dikuasai dapat mengakibatkan "penyangkalan kehidupan" dan ketiadaan semangat artistik.
Bagi Nietzsche, penyangkalan terhadap penderitaan itu dianggap sebagai suatu bentuk kelemahan moral. Ia memandang bahwa perjuangan dan penderitaan adalah bagian integral dari pengalaman manusiawi, dan menolaknya dapat diartikan sebagai penolakan terhadap kehidupan itu sendiri. Nah, berikut rangkuman kontroversi aliran filsafat Stoikisme yang dikritisi banyak filsuf.
1. Ketiadaan Kebebasan Mutlak
Salah satu kontroversi paling menonjol dalam Stoikisme adalah pandangan deterministiknya terhadap alam semesta dan kehidupan manusia. Stoikisme mengajarkan bahwa alam semesta diatur oleh Logos, suatu prinsip kosmik yang mengatur segala sesuatu dengan ketertiban. Namun, interpretasi ini sering kali dihubungkan dengan ketidaksetujuan terhadap kebebasan mutlak individu.
Stoikisme menyatakan bahwa manusia harus menerima takdir dan mengendalikan reaksi mereka terhadap keadaan. Bagi beberapa kritikus, hal ini dapat diartikan sebagai penolakan terhadap kebebasan mutlak dan tanggung jawab pribadi.
Skeptisisme terhadap kebebasan manusia ini dapat menciptakan ketidaksepakatan dengan pandangan yang menekankan tanggung jawab individual terhadap tindakan dan kehidupan mereka.
2. Apati Ekstrem
Kontroversi lain yang sering muncul adalah pandangan Stoikisme terhadap emosi dan penderitaan. Stoikisme menekankan pentingnya ketenangan batin dan ketidakpedulian terhadap hal-hal di luar kendali kita. Namun, pandangan ini bisa dianggap sebagai apati ekstrem, yaitu sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan dan keadaan sulit.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa Stoikisme, dengan menekankan ketidakpedulian, mungkin mengabaikan kebutuhan manusia untuk mengatasi penderitaan, mengekspresikan emosi, dan berpartisipasi dalam pengalaman hidup secara emosional. Kritik terhadap apati ekstrem ini mencuat sebagai kekhawatiran terhadap keseimbangan antara ketenangan batin dan empati terhadap penderitaan manusia.
3. Pemikiran Logos
Konsep Logos, meskipun dianggap sebagai prinsip harmoni kosmik dalam Stoikisme, juga memicu kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa konsep Logos mungkin tidak cukup jelas atau dapat diidentifikasi dengan baik. Ini menciptakan keraguan apakah Logos benar-benar dapat dianggap sebagai dasar etika yang kuat.
Kritik terhadap kejelasan konsep ini mengingatkan bahwa interpretasi terhadap prinsip kosmik ini dapat bervariasi, dan hal ini dapat mempengaruhi kesahihan ajaran Stoikisme. Beberapa filsuf dan kritikus mungkin meragukan apakah Logos dapat memberikan dasar moral yang cukup kuat bagi individu.
4. Kehidupan Emosional
Stoikisme sering dikritik karena pendekatannya terhadap kehidupan emosional. Beberapa kritikus menilai bahwa ajaran Stoik dapat mengarah pada penekanan atau penyangkalan emosi manusia.
Mereka berpendapat bahwa pengendalian emosi yang dianjurkan Stoikisme dapat menjadi terlalu ketat, bahkan hingga mencapai titik di mana kehidupan emosional dan ekspresi pribadi terbatasi.
Kritik terhadap sikap ini seringkali berkaitan dengan kekhawatiran bahwa manusia harus dapat merasakan dan mengungkapkan emosinya secara sehat sebagai bagian integral dari pengalaman manusiawi. Keberagaman emosi dan pengalaman pribadi dianggap oleh beberapa kritikus sebagai aspek yang mungkin terabaikan dalam praktik Stoik.
5. Hidup Berkeadilan
Stoikisme terkadang dikritik karena bisa terlalu individualistik dalam pendekatannya terhadap keadilan. Meskipun para stoik mengajarkan tanggung jawab pribadi dan kebijaksanaan individual, beberapa kritikus berpendapat bahwa fokus pada kontrol diri dan ketenangan batin dapat mengabaikan tanggung jawab sosial dan politik untuk memperbaiki ketidakadilan di masyarakat.
Kritik ini menyoroti kekhawatiran bahwa Stoikisme mungkin terlalu memusatkan perhatian pada perubahan individual tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap perubahan struktural dan sosial yang diperlukan untuk mencapai keadilan. Hal ini menciptakan kontroversi terkait dengan peran individu dalam membentuk dan memperbaiki masyarakat.