Nasional & Dunia

5 Tahun Perjanjian Paris, RI Dapat Rapor Merah dari Greenpeace

  • JAKARTA – Lima tahun pascapenandatanganan Perjanjian Paris, Greenpeace menilai pemerintah Indonesia belum memilkiki komitmen sebagaimana yang telah disepakati terkait penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Ditambah lagi, Indonesia absen dalam pertemuan peringatan lima tahun Perjanjian Paris pada 12 Desember 2020. Hal ini makin disayangkan sejumlah pihak yang menyoal keberlanjutan komitmen Indonesia dalam penurunan suhu bumi […]

Nasional & Dunia
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Lima tahun pascapenandatanganan Perjanjian Paris, Greenpeace menilai pemerintah Indonesia belum memilkiki komitmen sebagaimana yang telah disepakati terkait penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Ditambah lagi, Indonesia absen dalam pertemuan peringatan lima tahun Perjanjian Paris pada 12 Desember 2020. Hal ini makin disayangkan sejumlah pihak yang menyoal keberlanjutan komitmen Indonesia dalam penurunan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius.

“Bahkan pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan target Nationally Determined Contributions (NDCs),” kata Adila Isfandiari, Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam publikasi resmi, Minggu, 13 Desember 2020.

Hal tersebut, kata Aldila, berdampak pada kenaikan temperatur global mencapai 4 derajat Celcius, jika negara-negara lain di dunia memiliki level komitmen yang sama dengan Indonesia.

Dalam catatan Greenpeace, sektor kehutanan dan energi menjadi dua penyumbang emisi GRK terbesar Indonesia. Pada 2030, proyeksi total emisi kedua sektor tersebut mencapai 83%.

Apabila merujuk pada The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada 2030, penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik harus turun sebanyak 80% dari posisi 2010. Akan tetapi, Indonesia justru berencana menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru sebanyak hampir dua kali lipat dari kapasitas beroperasi saat ini.

Proyek ini direncanakan akan dibangun dalam periode 2019-2028. Menurut Aldila, penambahan PLTU baru sama saja dengan mengunci emisi GRK Indonesia hingga empat puluh tahun ke depan.

“Dengan demikian, total kapasitas PLTU pada 2028 sebesar 55 gigawatt dengan taksiran emisi sekitar 330 juta ton per tahun bila semua beroperasi.”

Di sisi lain, pencapaian energi baru terbarukan (EBT) baru sekitar 14,69%. Padahal, target pemerintah adalah sebanyak 23% pada 2025. Untuk mencapai target, setidaknya perlu tambahan pembangkit EBT sebesar 10.000 MW.

Solusi dari Pemerintah

Program co-firing batu bara dan program biodiesel juga dianggap sebagai solusi semu. Pasalnya, kedua program ini berpotensi besar meningkatkan produksi kelapa sawit. Dengan begitu, ini berpotensi menambah luasan lahan dengan cara deforestasi hutan dan merusak lahan gambut.

Kajian LPEM Universitas Indonesia, untuk pengembangan B50 membutuhkan penambahan lahan sawit sebanyak 9.291.549 hektare. Sementara luasan lahan menghasilkan pada 2019 sebesar 13,35 juta hektare.

Artinya, kebutuhan lahan baru sangat signifikan, mengingat rendahnya komitmen intensifikasi. Ditambah lagi kebutuhan subsidi yang juga besar, sehingga rencana penghematan anggaran negara dari pengurangan impor solar, sangat sulit terealisasi.

“Solusi semu dan sesat seperti co-firing dan biodiesel harus dihentikan, karena berpotensi menambah emisi GRK,” tegas dia. (SKO)