<p>Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menemukan ribuan entitas Fintech Lending Ilegal / Istimewa</p>
Nasional & Dunia

50 Persen Lebih Fintech Ilegal di Indonesia Berasal dari Negara-Negara Ini

  • JAKARTA –  Lebih dari 50% penyelenggara fintech ilegal di Indonesia berasal dari China, Amerika, Singapura dan Malaysia. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim, berdasarkan temuan Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Fintech ilegal tersebut beroperasi di Indonesia dan berpotensi merugikan konsumen,” ujarnya dalam diskusi daring “Peran […]

Nasional & Dunia
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA –  Lebih dari 50% penyelenggara fintech ilegal di Indonesia berasal dari China, Amerika, Singapura dan Malaysia.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim, berdasarkan temuan Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Fintech ilegal tersebut beroperasi di Indonesia dan berpotensi merugikan konsumen,” ujarnya dalam diskusi daring “Peran OJK dalam Menjamin Regulasi Perlindungan Konsumen Industri Keuangan Era Pandemi COVID-19, Selasa, 8 Desember 2020.

Ia mengungkapkan, hasil investigasi BPKN pada tahun lalu menemukan sejumlah persoalan. Salah satunya, terkait proses pendaftaran dan perizinan fintech. Selama ini, ujarnya, sebelum disetujui, perusahaan fintech yang mendaftar akan diawasi dalam satu tahun. Hasil evaluasi akan menentukan persetujuan atau tidak.

“Tapi yang jadi masalah, selama pengawasan itu perusahaan fintech melakukan pelanggaran,” kata Rizal.

Menurutnya, risiko yang muncul atas layanan pinjol, salah satunya adalah bunga pinjaman yang sangat tinggi. Tidak seperti suku bunga perbankan, suku bunga pinjol yang ditawarkan berada di kisaran 14%-30% per bulan. Ditambah, denda tagihan yang dibebankan juga diikuti dengan bunga yang besar.

Selain itu, lanjutnya, konsumen diharuskan membayar biaya layanan 3%-5%. Adapun untuk jangka waktu pelunasan juga pendek, maksimal 12 bulan.

“Dengan limit kredit yang rendah, potensi data pribadi yang bocor juga tinggi. Hal ini dapat disalahgunakan baik oleh perusahaan penyelenggara maupun pihak ketiga,” ungkap Rizal.

Di sisi lain, penagihan utang dinilainya kerap disertai dengan ancaman dan intimidasi. Inilah yang dianggap Rizal bahwa sistem security belum memberikan hak atas kenyamanan nasabah.

Ia mencontohkan, terkait pengaduan penyalahgunaan data pribadi, misalnya. Pada kasus pishing, mekanisme yang terjadi awalnya adalah konsumen dihubungi oleh seller alias oknum penjual.

Setelah melakukan pembayaran, konsumen mendapat tautan untuk memproses pesanan, dengan syarat memasukkan e-mail dan password. Namun, ketika tautan tersebut diklik, situs tersebut mempunyai tampilan yang sangat mirip dengan platform asli sehingga tidak tampak palsu. Setelah itu, oknum pun berhasil mengambil data pribadi hingga nomor rekening konsumen dapat diketahui.

Mitigasi OJK

Rizal menambahkan, penerapan mitigasi pada industri fintech perlu dipertegas oleh OJK. Hal ini dapat dimulai dari syarat menjadi pemodal dan peminjam. Kemudian verifikasi terhadap setiap dokumen persyaratan wajib, terutama lewat sistem credit scoring yang akurat.

Tak hanya itu, tim penilai kredit juga mesti kompeten untuk melihat tingkat kelayakan pinjaman. Selanjutnya, mencantumkan disclaimer risiko sebagai bahan pertimbangan pengguna dalam memutuskan penggunaan fintech.

Rizal pun mengakui, regulasi yang ada sudah cukup jelas, tetapi ketika dihadapkan situasi lapangan, ruang kompromi antarsektor cukup sulit. Saat ini, pihaknya tengah menggodok jalan keluar aturan yang ada di kementerian dan lembaga terkait fintech.

Menurut dia, OJK dapat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), misalnya untuk mentakedown seluruh fintech ilegal. Ia pun mengakui, mapping regulasi ekonomi digital dan keuangan melibatkan banyak stakeholder.

“Memang irisan ini membutuhkan kesabaran dan banyak koordinasi,” kata dia.

Perkuat Regulasi Fintech

Diketahui, OJK sendiri telah mengatur layanan fintech dalam POJK No.77/POJK/01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (fintech lending).

Sementara untuk perlindungan data, teknologi, dan monitoring yang dilakukan oleh Kominfo diatur dalam UU ITE, PM Kominfo No.20/2016 PDP, dan PP PSTE. Selain itu, industri ini juga diatur salah satunya dalam Peraturan BI No.19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Fintech.

“Oleh karena itu, panduan dalam rangka menegakkan perlindungan konsumen, perlu diturunkan dalam regulasi yang lebih teknis,” tuturnya.

Di sisi lain, BPKN juga mengajukan beberapa rancangan undang-undang (RUU) kepada presiden, yakni RUU Perlindungan Konsumen, RUU Perlindungan Data Pribadi, dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2012.

Sejumlah pertimbangannya, kata Rizal, data dan informasi transaksi ini menyangkut kepentingan masyarakat Indonesia yang tak lain merupakan aset negara. Selain itu, data dan informasi tersebut dapat diproses dan diolah di luar jurisdiksi hukum. Terakhir, seluruh bidang usaha yang menggunakan sistem elektronik harus terkoneksi dengan jaringan utama (backbone) telekomunikasi negara.