52 Juta Orang Indonesia Paling Rawan, Pandemi Berpotensi Memperlebar Ketimpangan
Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengatakan Indonesia berpotensi mengalami ketimpangan pendapatan pasca pandemi COVID-19.
Nasional
JAKARTA – Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengatakan Indonesia berpotensi mengalami ketimpangan pendapatan pasca pandemi COVID-19.
Menurutnya, ketimpangan ini rentan dialami masyarakat kelas menengah di Indonesia. Menurut data Bank Dunia, sebanyak 52 juta orang Indonesia teridentifikasi menjadi sebagai masyarakat kelas menengah.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Meski tidak masuk dalam kategori miskin, kalangan ini masih rentan terhadap perubahan gejolak ekonomi akibat COVID-19. Bank Dunia menyebut sebesar 12% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia disumbangkan dari aktivitas konsumsi kalangan menengah ini.
Menurut Chatib, pandemi COVID-19 dapat merenggut akses masyarakat terhadap aktivitas penunjang ekonomi. Hal ini lah yang menjadi awal ketimpangan pendapatan di Indonesia.
“Ekonomi kita bisa saja recover, tapi setelahnya ada potensi ketimpangan pendapatan antara kelompok yang punya akses dan yang tidak,” kata Chatib dalam webinar Sinergi Memulihkan Negeri, Senin 5 April 2021.
Akses pertama yang disebut Chatib adalah internet. Menurutnya, akses internet merupakan langkah awal membuka berbagai peluang pendapatan sejak masa pandemi COVID-19. Kalangan yang tidak mendapat akses internet, kata Chatib, akan sulit meningkatkan kesejahteraannya.
- Sri Mulyani: Indonesia Makin Dekat dengan Middle Income Trap
- Indonesia Terancam Masuk Jadi Negara Middle Income Trap, Apa Itu?
Menurut laporan Economist Intelligence Unit’s (EIU) 2019, indeks inklusivitas internet Indonesia berada di posisi 76. Indeks ini diukur dari ketersediaan teknologi, kecakapan sumber daya manusia (SDM), kebijakan pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi digital di suatu negara.
Menurut indeks tersebut, Indonesia mendapatkan skor sebesar 46,15 dari 100. Indonesia masih tertinggal dari Singapura yang meraih posisi ke-2 dengan skor 82,13 dan Malaysia di posisi ke-32 lewat skor 63.76.
“Kelompok yang punya akses ke internet dan digital akan survive, tetapi yang tidak akan terpukul,” terang Chatib.
Kemudian, kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan formal sangat mungkin mengalami penurunan pendapatan.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019, sebanyak 83 juta penduduk Indonesia masih tergolong unbankable. Hal ini menjadi tantangan pemerintah untuk menghadirkan inklusi keuangan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) ini juga menyoroti pentingnya memperkuat infrastruktur Indonesia sejak masa Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ketidaksediaan infrastruktur dasar semakin menekan pengeluaran masyarakat ekonomi lemah yang pendapatannya sudah semakin rendah.
“Harga Air bersih bisa delapan kali lebih mahal bagi masyarakat miskin. Maka infrastruktur yang basic dapat membantu ketimpangan pendapatan,” jelas Chatib
Selain itu, Chatib menjelaskan terjadi perubahan pola kehidupan sehingga pemerintah perlu menghitung ulang anggaran belanja pembangunan infrastruktur. “Salah satu masalah pembangunan infrastruktur adalah cost yang tidak bisa digeser. Kalau nanti diperhitungkan ulang dengan memasukkan unsur teknologi itu struktur cost-nya diperkecil,” terang Chatib.
Untuk diketahui, pemerintah memiliki 201 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan 10 program dengan total investasi sebesar Rp4.809,7 triliun yang mencakup 23 sektor pembangunan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 109 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.