66 Tahun BCA: Dibesarkan Grup Salim, Dinikmati Grup Djarum
- Siapa sangka, BCA yang mulanya adalah pabrik rajut menjelma menjadi bank swasta terbesar dengan kapitalisasi pasar menyentuh Rp1.075 triliun per hari ini
Korporasi
JAKARTA – Tepat hari ini, 21 Februari 2023, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menginjak usia ke-66 tahun. Siapa sangka, perusahaan yang mulanya adalah pabrik rajut itu telah menjelma menjadi bank swasta terbesar dengan kapitalisasi pasar menyentuh Rp1.075 triliun per hari ini.
Adalah Sudono Salim, sosok pendiri BCA yang meresmikannya pada 21 Februari 1957. Pria asal China yang bernama asli Liem Sioe Liong ini mulanya mendirikan NV Perseroan Dagang dan Industri Semarang Knitting Factory (pabrik rajut) pada 1955.
Dua tahun kemudian, NV Perseroan Dagang dan Industri mengubah nama sekaligus haluan bisnisnya menjadi NV Bank Central Asia yang bergerak di sektor perbankan. Dengan identitas baru ini, kantor NV Bank Central Asia pindah dari Semarang ke Asemka, Jakarta pada 1957.
Selain berkat tangan dingin Salim, besarnya nama BCA juga tak bisa lepas dari campur tangan Mochtar Riady. Bankir yang kemudian membesarkan grup usahanya sendiri lewat bendera Lippo itu diminta secara langsung oleh Salim untuk menahkodai BCA. Di bawah kendali Mochtar, BCA terus meroket melampaui Bank Panin yang merupakan bank besutan Mochtar Riady sendiri.
Akan tetapi, perjalanan bisnis BCA menemui titik terendah tatkala krisis moneter mendera Indonesia pada 1998. BCA di ujung bangkrut lantaran terjadi penarikan uang massal oleh para nasabah.
Krisis kepercayaan nasabah ini dipicu sentimen negatif kedekatan Salim dengan Presiden Soeharto yang saat itu mundur dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Kepemilikan saham Soeharto diwakili oleh dua anaknya, yakni Sigit Haryoyudanto dan Siti Hardiyanti Hastuti yang masing-masing mengempit 20% dan 10% saham BCA.
Hilangnya dana kelolaan membuat keuangan BCA porak poranda, hingga akhirnya pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi menjadikan BCA sebagai Bank Taken Over (BTO).
Pemerintah pada 1999 menjual saham BCA lewat mekanisme di bursa efek dengan harga penawaran sebesar Rp1.400 per lembar saham. Celakanya, lagi-lagi nama buruk Soeharto semakin mengacaukan kondisi BCA.
Saham BCA yang dijual pemerintah tak laku dan akhirnya tetap digenggam oleh pemerintah. Penjajakan saham BCA kembali dilakukan di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002.
Pemerintah saat itu menjual 51% saham BCA ke publik. Awalnya, BCA diperebutkan oleh 15 calon pembeli hingga akhirnya Standard Chartered Bank, Farallon, Bank Mega, dan konsorsium indonesia yang dipimpin koperasi produsen batik lah yang menjadi empat kandidat yang bersaing ketat.
Asal tahu saja, perusahaan investasi asal Amerika Serikat, Farallon adalah mitra dari Hartono bersaudara pemilik Grup Djarum. Sedangkan Chairul Tanjung merupakan pemilik dari Bank Mega.
Hingga pada Februari 2002, Farallon resmi menjadi pemilik BCA usai merogoh kocek sedalam US$530 juta. Dari sinilah awal mula BCA berpindah tangan dari keluarga Salim ke Hartono.
Hubungan Farallon dengan keluarga Hartono tak hanya sekadar mitra bisnis.Trah Hartono lewat Grup Djarum mengakuisisi saham Farallon di Farindo Investment sebanyak 92,18% pada 2007. Farindo Investment merupakan perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka dan Farallon.
Lumbung Cuan Grup Djarum
Membeli BCA barangkali adalah keputusan bisnis terbaik yang pernah dilakukan oleh Budi Hartono dan Michael Hartono. Usai melewati banyak turbulensi, BCA kini menjadi lokomotif bisnis paling menguntungkan dalam ekosistem Grup Djarum.
Dalam beberapa tahun terakhir saja, BCA tercatat konsisten membayar dividen kepada para pemegang sahamnya. Tak hanya sekadar ‘ada’, rasio setoran dividen terhadap laba bersih (Dividend Payout Ratio/DPR) dan nilai dividen bank bersandi saham BBCA ini juga terus tumbuh.
2017: dividen senilai Rp6,29 triliun, DPR (27%)
2018: dividen senilai Rp8,39 triliun, DPR (32,4%)
2019: dividen senilai Rp13,70 triliun, DPR (47,9%)
2020: dividen senilai Rp13,06 triliun, DPR (48,2%)
2021: dividen senilai Rp17,87 triliun, DPR (56,9%)
Tahun lalu, BBCA membayar dividen interim tunai sebesar Rp35 per saham untuk tahun buku 2022. Adapun untuk total dividen interim tunai yang akan dibayarkan adalah sebesar Rp4,31 triliun atau meningkat 40% dibandingkan dividen interim tahun buku 2021.
Untuk diketahui, duo Hartono menjadi pemegang saham pengendali BBCA dengan kepemilikan mencapai 54,94%. Melihat postur pemegang sahamnya, Hartono bersaudara memiliki saham BCA secara langsung dan tidak langsung. Tercatat, Robert Budi Hartono memiliki 28,13 juta saham BBCA atau setara dengan 0,02%. Sementara saudaranya, Michael Bambang Hartono mengempit 27,02 juta saham atau 0,02% dari total saham beredar.
Sedangkan secara tidak langsung, kepemilikan Hartono diwakili oleh PT Dwimuria Investama Andalan yang menjadi pemegang saham mayoritas yakni 54,94% atau 67,72 miliar helai saham BBCA.
Sebagai informasi, Dwimuria Investama Andalan merupakan perusahaan holding investasi yang dimiliki oleh Robert Budi Hartono sebanyak 51% saham dan 49% saham oleh Michael Bambang Hartono. Dwimuria juga melakukan investasi portofolio pada saham dan instrumen utang, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sisanya, BBCA dipegang oleh pihak afiliasi pengendali sebanyak 2,46% dan publik sebesar 42,55%. Dengan komposisi pemegang saham itu, pemilik Grup Djarum alias duo Hartono tentunya menuai keuntungan yang bombastis.
Hanya dari dividen interim tahun buku 2022 saja, duo Hartono sudah cuan Rp2,37 triliun berkat kepemilikannya sebanyak 67,72 miliar saham BBCA. Maka tak heran, tahta duo Hartono sebagai orang terkaya di Indonesia mampu dipertahankan selama bertahun tahun.
Sampai pada akhirnya pada tahun lalu, Low Tuck Kwong, pemilik PT Bayan Resources Tbk (BYAN) menggeser Hartono bersaudara sebagai orang terkaya di Indonesia.
Berdasarkan real-time billionaires list di Forbes, kekayaan yang saat ini dimiliki oleh Low Tuck Kwong mencapai US$25,2 miliar atau setara Rp393,25 triliun (kurs Rp15.605 per-dolar AS). Ini juga membuat Low Tuck Kwong menduduki deretan orang terkaya nomor 54 di dunia.
Sementara pada awal Desember 2022, Forbes mencatat kekayaan duo Hartono mencapai U$47,7 miliar atau Rp744,12 triliun, naik U$5,1 miliar atau Rp79,56 triliun dari tahun sebelumnya.