Jenis Fintech yang Berkembang Sekaligus Solusi Finansial Masyarakat Indonesia
Fintech

7 Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Perkembangan Fintech di Indonesia

  • IFSoc memandang bahwa dukungan kebijakan yang mendorong inovasi menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan sektor ini.
Fintech
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

 JAKARTA - Indonesia Fintech Society (IFSoc) dengan penuh optimisme menyambut momentum positif dalam perkembangan industri teknologi keuangan (tekfin) atau fintech dan ekonomi digital sepanjang tahun 2023. 

IFSoc memandang bahwa dukungan kebijakan yang mendorong inovasi menjadi faktor kunci dalam pertumbuhan sektor ini.

Ketua IFSoc, Rudiantara, menyoroti implementasi Undang-Undang Perlindungan Sistem Keuangan (UU PSSK), yang membawa sejumlah perubahan signifikan di sektor keuangan. 

Langkah-langkah seperti pembentukan Bursa Kripto, Bursa Karbon, penunjukkan Dua Kepala Eksekutif OJK, dan peta jalan pengembangan pinjaman online (pinjol) telah memberikan arah baru bagi industri ini. 

“Di tahun 2023 ini kita telah melihat implementasi UU PSSK dalam berbagai kebijakan di sektor keuangan, IFSoc mencatat UU PPSK perlu menjadi titik landas terwujudnya harmonisasi regulasi lintas lembaga di sektor keuangan digital,” ujar Rudiantara dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun secara virtual pada Jumat, 29 Desember 2023.

Rudiantara juga menyoroti tujuh catatan penting yang perlu diperhatikan dalam perkembangan tekfin dan ekonomi digital selama tahun 2023 dan perlu dipantau lebih lanjut pada tahun 2024, yakni sebagai berikut:

1. Kepastian Hukum Perlindungan Data Pribadi (PDP)

Pentingnya kepastian hukum terkait Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi sorotan utama. Meskipun terdapat kemajuan dengan munculnya Rancangan Peraturan Presiden (RPP) PDP sebagai turunan UU PDP, namun kebocoran data yang masih terjadi menjadi catatan serius. 

Rudiantara menekankan pentingnya penetapan Lembaga Penyelenggara PDP sesuai dengan amanat Pasal 58 UU PDP. Dia juga mencatat kekurangan jumlah tenaga ahli Data Privacy Officer (DPO), yang menjadi perhatian utama dalam memastikan keberhasilan implementasi PDP di sektor industri.

2. Badai Perusahaan Rintisan (Tech Winter)

Badai perusahaan rintisan alias start up atau yang biasa juga di sebut tech winter masih menjadi kenyataan di tahun 2023. 

Data riset menunjukkan penurunan signifikan dalam pendanaan tekfin di paruh pertama tahun 2023, mencapai US$25 Juta atau setara dengan Rp385,97 miliar dalam asumsi kurs Rp15.439 per-dolar Amerika Serikat (AS), dibandingkan dengan angka US$1 miliar (Rp15,43 triliun) di periode yang sama tahun sebelumnya. 

Eddi Danusaputro, Anggota Steering Committee IFSoc, menjelaskan bahwa investor kini lebih memprioritaskan profitabilitas, dan perusahaan rintisan diharapkan dapat menyesuaikan model bisnis mereka. 

Kemungkinan adanya badai perusahaan rintisan yang berlanjut di tahun 2024 dipicu oleh ketegangan geopolitik global, kenaikan suku bunga, dan tahun politik. 

Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan memberikan dukungan melalui kebijakan pembiayaan alternatif dan penciptaan lapangan kerja bagi talenta digital.

“Investor akan semakin wait-and-see di tengah kondisi ekonomi dan politik yang penuh ketidakpastian di tahun depan. Di sini pemerintah perlu andil memberikan affirmative policy melalui adanya alternatif pembiayaan dan pemberian lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi talenta digital,” kata Eddi.

3. Bursa Kripto sebagai Ekuilibrium Perdagangan Kripto

Kemunculan Bursa Kripto di tahun 2023 dianggap sebagai titik ekuilibrium baru dalam perdagangan kripto di Indonesia. 

Andreas Maryoto, Anggota Steering Committee IFSoc, menekankan perlunya transisi peralihan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dilakukan dengan hati-hati untuk tidak mengganggu perdagangan yang sudah berjalan. 

Isu-isu terkait tata kelola (governance) juga menjadi perhatian utama guna mencegah kejahatan keuangan seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, atau penipuan. 

Maryoto menambahkan bahwa Bursa Kripto juga harus mampu menarik minat investasi di pasar dalam negeri dan memberikan edukasi kepada investor, sekaligus mendorong investasi di platform lokal.

“Bursa Kripto menjadi babak baru kemajuan industri kripto, tapi dalam implementasinya perlu mengedepankan governance dan perlindungan terhadap investor. Bursa Kripto harus bisa memberikan edukasi kepada investor sekaligus mendorong investasi di platform lokal,” kata Maryoto.

4. Optimalisasi Peningkatan Adopsi QRIS

IFSoc mencatat inisiatif Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) antarnegara dan Merchant Discount Rate (MDR) menjadi isu utama di tahun 2023. 

Penetrasi QRIS antarnegara telah mencapai negara-negara seperti Singapura dan Malaysia, dan IFSoc menyoroti perlunya optimalisasi awareness melalui penempatan materi sosialisasi di tempat-tempat ramai seperti bandara, transportasi umum, dan tempat kuliner. 

Dyah N.K Makhijani, Anggota Steering Committee IFSoc, menjelaskan bahwa QRIS antarnegara dapat membantu pertumbuhan industri pariwisata Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah  (UMKM) dengan penempatan QRIS di negara-negara dengan jumlah wisatawan terbanyak yang berlibur ke Indonesia. 

Selain itu, sosialisasi massif tentang MDR 0,3% untuk UMKM mikro juga dianggap penting untuk menghindari kesalahpahaman yang sering muncul.

“Persepsi masyarakat saat ini harus diluruskan mengenai MDR, terutama UMKM yang terdampak oleh kebijakan ini. Sosialisasi masif ke masyarakat dan UMKM perlu dilakukan dengan menggandeng Kemenkop UMKM,” papar Dyan.

5. Peran Penting Pinjaman Online sebagai Alternatif Pendanaan

Upaya perbaikan kepercayaan masyarakat terhadap fintech lending terus dilakukan oleh OJK. Hendri Saparini, Anggota Steering Committee IFSoc, menyatakan bahwa Peta Jalan Industri Fintech Lending 2023-2028 menjadi langkah yang tepat untuk memberikan kejelasan arah pengembangan industri. 

Namun, Hendri menekankan perlunya sinergi antara OJK dan industri dalam memberikan literasi kepada masyarakat mengenai manfaat fintech lending

Selain itu, perlu ada upaya memposisikan fintech lending sebagai penyedia pembiayaan alternatif bagi kelompok underbanked dan unbanked

Pendekatan regulasi yang proporsional diperlukan agar dapat mengakomodasi kebutuhan segmen kelompok tersebut.

 “Fintech lending itu jenis pembiayaannya tidak menggunakan agunan atau unsecured lending. Karakter ini berbeda dengan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya sehingga perlu menggunakan pendekatan regulasi yang berbeda dan juga proporsional,”

6. Antisipasi Perkembangan Masif Artificial Intelligence (AI)

Panduan kode etik AI sektor fintech yang diterbitkan oleh OJK bersama asosiasi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di tahun 2023 menandakan perhatian terhadap perkembangan masif AI. 

Wahyu Dhyatmika,Anggota Steering Committee IFSoc, menekankan perlunya pertimbangan dampak dari perkembangan AI dalam peraturan yang dikeluarkan oleh institusi regulator. 

OJK dan BI diharapkan dapat mengeluarkan produk hukum, seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), mengenai panduan pengembangan dan etik AI. 

Pemanfaatan AI di sektor tekfin juga diharapkan dapat memprioritaskan efisiensi dan efektivitas layanan, seperti credit scoring, e-KYC, dan pencegahan fraud/anti money laundering.

“AI di fintech merupakan hal yang lumrah pemanfaatannya. Tentunya AI harus dimanfaatkan sebagai katalis perbaikan efisiensi dan efektivitas layanan keuangan seperti credit scoring, e-kyc, dan pencegahan fraud/Anti Money Laundering,” kata Wahyu.

7. Kolaborasi dalam Memerangi Fraud

IFSoc mencatat ketimpangan inklusi (85%) dan literasi keuangan (49,7%) yang masih besar menjadi fokus utama bagi seluruh pemangku kepentingan di industri keuangan. 

Tirta Segara, Anggota Steering Committee IFSoc, menyatakan bahwa perlunya upaya bersama dalam mempersempit ruang gerak pelaku fraud.

“Upaya proaktif serta kolektif antara regulator dan industri antar sektor penting adanya untuk memperkecil ruang pelaku fraudster karena telah dideteksi lebih dulu sebelum mereka melakukan kejahatan. Di sinilah perlunya ada universal fraudster database yang dapat diakses berbagai pihak pemangku kepentingan untuk mendeteksi pelaku fraud,” tegas Tirta. 

Kolaborasi proaktif antara regulator dan industri lintas sektor dianggap penting untuk memperkecil ruang gerak pelaku fraudster dengan mendeteksinya lebih dulu sebelum melakukan kejahatan. 

Tirta menambahkan bahwa Indonesia dapat mengambil contoh dari Malaysia dengan membuat satu standar hotline sebagai layanan aduan kasus fraud yang dapat diakses dengan cepat oleh berbagai pihak pemangku kepentingan.