<p>Suasana kios pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020. Jika pandemi tak bisa dikendalikan yang salah satunya dilihat dari indikator positive rate di bawah 5%, masyarakat, khususnya kelas menengah akan enggan membelanjakan uangnya, karena khawatir terinfeksi. Inilah yang menjadi penyebab, meski reaktivasi ekonomi sudah dilakukan pada Juni 2020 lalu, tetapi kinerja daya beli tetap melorot. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Makroekonomi

8 Kebijakan Ini Bikin Kelas Menengah Makin Tercekik di 2025

  • Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Penurunan ini setara dengan 9,48 juta orang yang turun kasta dari kelas menengah.

Makroekonomi

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Kelompok kelas menengah memiliki persentase konsumsi sebesar 82% dari total konsumsi masyarakat Indonesia. Jumlah yang tidak sedikit ini juga secara langsung mempengaruhi besarnya kontribusi kelompok terhadap negara.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan jumlah kelas menengah dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Penurunan ini setara dengan 9,48 juta orang yang turun kasta dari kelas menengah.

Survei Inventure 2024 tentang Indonesia Market Outlook 2025 menemukan 49% dari kelas menengah mengalami penurunan daya beli, sementara 51% merasa daya beli mereka tidak mengalami penurunan.

Mereka merasa, tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan daya beli, yaitu kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), tingginya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%). Dalam survei yang sama, para responden mengungkapkan merasa tertekan oleh berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari kenaikan pajak hingga omnibus law atau Undang-Undang Cipta Kerja.

Dan berikut sederet kebijakan yang mencekik kelas menengah.

1. Pajak

Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tahun depan, sebagai tindak lanjut terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Peningkatan tarif PPN secara langsung berdampak pada kenaikan harga jual berbagai barang di pasaran, mulai dari barang kebutuhan pokok ingga barang sekunder. Hal ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Selain itu, kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi. Jika inflasi terlalu tinggi, daya beli masyarakat akan semakin melemah.

2. Tapera

Pada Juni 2024, pemerintah menerbitkan peraturan yang mengatur kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tapera adalah program yang dirancang untuk membantu masyarakat menabung sebagai persiapan membeli rumah.

Pekerja akan dikenakan potongan sebesar 2,5%, dengan rencana implementasi kebijakan dimulai pada tahun 2027. Dilansir dari Hukum Online,Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan tersebut membebani pekerja, karena besarnya iuran keanggotaan dihitung berdasarkan persentase dari gaji atau upah.

Tapera sendiri mendapat kritik dan penolakan luas dari masyarakat. Meski pemerintah sempat menyatakan kesepakatan untuk menunda pelaksanaannya, hingga saat ini belum ada peraturan resmi yang secara tegas membatalkan kebijakan tersebut.

3. Asuransi Kendaraan Wajib

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan mulai tahun 2025, seluruh kendaraan bermotor di Indonesia wajib ikut asuransi third party liability (TPL). Asuransi ini berbeda dari asuransi yang umum dibeli saat membeli mobil baru, seperti total loss only (TLO) atau all risk(comprehensive).

Asuransi TPL artinya memberikan perlindungan terhadap kerugian yang dialami pihak ketiga, termasuk tuntutan dari pihak ketiga terhadap pemilik kendaraan akibat risiko seperti tabrakan, benturan, atau kejadian lain yang tercantum dalam polis.

Wacana tersebut merupakan kelanjutan dari terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang mengatakan pemerintah untuk membentuk program asuransi wajib sesuai kebutuhan.

4. Potongan Gaji untuk Pensiun Tambahan

Rencana pemerintah untuk memotong gaji pekerja demi program pensiun tambahan mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta asosiasi pengusaha dan buruh.

Sebagai informasi, rencana pemotongan gaji pekerja untuk program pensiun tambahan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

Pasal 189 ayat 4 UU P2SK mengatur pemerintah dapat melaksanakan program pensiun tambahan yang bersifat wajib di luar program Jaminan Hari Tua (JHT) dan jaminan pensiun yang sudah ada melalui BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, serta sistem jaminan sosial nasional lainnya.

Penolakan dari pekerja muncul karena saat ini gaji pegawai swasta sudah dipotong untuk membayar Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan, sementara PNS dipotong untuk Taspen, dan TNI/Polri dipotong untuk Asabri.

Oleh karena itu, kalangan legislator di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, menilai kebijakan ini dapat semakin membebani karyawan yang sudah menanggung berbagai potongan gaji.

5. Pembatasan BBM Subsidi

Pemerintah awalnya merencanakan pengaturan pembelian BBM subsidi mulai 1 Oktober 2024 untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Jokowi menyatakan, pembatasan ini bertujuan untuk mengatasi masalah polusi udara, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, sekaligus meningkatkan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

6. Tarif KRL Berbasis NIK

Rencana penetapan tarif KRL berbasis NIK merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi beban subsidi bagi masyarakat yang mampu, mengalihkan bantuan tersebut kepada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

7. BPJS Kesehatan Naik

Iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) diperkirakan akan naik pada Juni 2025. Kenaikan ini dilakukan setelah mempertimbangkan risiko gagal bayar yang mungkin dialami perusahaan pada 2026. Selain itu, penyesuaian iuran ini belum dilakukan sejak 2020, meskipun menurut aturan, penyesuaian seharusnya setiap dua tahun sekali.

8. Cukai Rokok

Mulai 1 Januari 2025 tarif cukai rokok akan naik lagi, yang diperkirakan akan mempengaruhi harga rokok di pasaran. Hal ini semakin jelas setelah DPR RI menyetujui Kementerian Keuangan untuk menerapkan tarif cukai rokok yang baru pada tahun depan.

Oleh karena itu, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari sisi finansial dan inflasi, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap sektor tenaga kerja.

Adapun, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2025, keputusan ini juga sesuai dengan pembahasan RAPBN 2025 bersama DPR. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyatakan meskipun CHT tidak mengalami kenaikan, Harga Jual Eceran (HJE) tetap akan naik.