<p>Awak media mengambil gambar monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 3 Agustus 2020. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 2,78 persen atau 143,4 poin ke level 5.006,22 pada akhir sesi Senin (3/8/2020), setelah bergerak di rentang 4.928,47 &#8211; 5.157,27. Artinya, indeks sempat anjlok 4 persen dan terlempar dari zona 5.000. Risiko penurunan data perekonomian kawasan Asean termasuk Indonesia menjadi penyebab (IHSG) terkoreksi cukup dalam hari ini. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

9 Faktor Penentu Gerak IHSG September 2020: Ancaman Resesi Ekonomi RI, Hingga Perang AS-China

  • Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mencatat setidaknya ada sembilan faktor yang bakal mempengaruhi gerak IHSG sepanjang awal pekan September 2020. IHSG berpeluang konsolidasi cenderung melemah setelah penguatan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.

Industri
Sukirno

Sukirno

Author

JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu, 24-28 Agustus 2020, mencetak lonjakan 1,4% bertengger di atas level 5.300.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada akhir pekan, Jumat, 28 Agustus 2020 ditutup di posisi 5.346,65. Secara harian, IHSG melemah 0,46%. Namun, secara kumulatif sepekan, indeks mampu mencetak kenaikan di atas 1% dan menempati posisi tertinggi di level 5.300 sejak 6 Maret 2020.

BEI mencatat, peningkatan tertinggi pekan lalu terjadi pada rata-rata volume transaksi harian bursa sebesar 26,64% menjadi 15,085 miliar saham dari pekan sebelumnya sebesar 11,912 miliar saham.

Akan tetapi, investor asing masih membukukan aksi jual bersih atau net sell sebesar Rp1,13 triliun sepanjang hari perdagangan akhir pekan. Sejak awal tahun (year-to-date), investor asing mencatatkan total net sell Rp26,08 triliun.

Konsolidasi Wajar

Direktur PT Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya memperkirakan IHSG akan bergerak di rentang 5.102-5.378 pada Senin, 31 Agustus 2020.

Menurut dia, pergerakan IHSG terlihat sedang melewati fase konsolidasi wajar. Dia menilai, masih tercatatnya capital outflow sejak awal tahun (ytd) turut memberikan sentimen terhadap pergerakan IHSG.

“Namun mengingat kuatnya fundamental perekonomian Indonesia serta hampir siapnya vaksin untuk COVID-19 maka peluang kenaikan IHSG masih terbuka lebar. Hari ini IHSG masih berpotensi terkonsolidasi,” kata William dalam risetnya.

Terpisah, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mencatat setidaknya ada sembilan faktor yang bakal mempengaruhi gerak IHSG sepanjang awal pekan September 2020. IHSG berpeluang konsolidasi cenderung melemah setelah penguatan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir.

“Kami perkirakan IHSG akan bergerak dengan support di level 5.324 sampai 5.218 dan resistance di level 5.400 sampai 5.450,” kata dia dalam riset yang diterima TrenAsia.com pada Minggu, 30 Agustus 2020.

Berikut beberapa sentimen yang mungkin mempengaruhi pergerakan IHSG pada awal September:

  1. Perubahan pendekatan kebijakan Federal Reserve (The Fed) yang disampaikan Jerome Powell punya implikasi jangka panjang ke pasar keuangan. Sebelumnya bank sentral Amerika Serikat (AS) berusaha mendorong ekonomi dan ketika inflasi mencapai 2% maka the Fed mulai menaikan suku bunga. The Fed sekarang akan mengadopsi target inflasi rata-rata yang akan membuat bunga tetap rendah ketika inflasi naik di masa depan. Inflasi akan di rata-rata sehingga butuh waktu lebih lama sebelum The Fed menaikan suku bunga. Hal ini punya implikasi positif bagi pasar keuangan di jangka panjang.
  2. Selain bunga yang rendah, the Fed diperkirakan terus menggelontorkan stimulus untuk mendorong ekonomi untuk mencapai target inflasi 2%. Diketahui sejak krisis 2008, ekonomi sangat sulit naik di atas 2% dalam jangka panjang. Sehingga, ini mendorong perkiraaan panjangnya rezim suku bunga rendah. Pasar saham dan obligasi cenderung positif jangka panjang karena harapan bunga yang rendah dan stimulus yang terus diberikan di masa yang akan datang bahkan ketika ekonomi sudah pulih dari pandemi COVID-19. Ketika vaksin ditemukan dan pandemi bisa diatasi, pasar masih akan melihat stimulus dan bunga rendah akibat menunggu rata-rata inflasi naik. Dana murah ini akan masuk ke emerging market termasuk ke Indonesia.
  3. Perubahan pendekatan The Fed juga akan mempengaruhi nilai tukar dolar AS. Diperkirakan dolar AS akan punya tren turun jangka panjang akibat likuditas dolar yang tinggi serta bunga yang rendah. Secara umum rupiah seharusnya mampu menguat jangka panjang terhadap dolar AS. Secara umum, bunga yang rendah akan mendorong nilai tukar sebuah negara cenderung melemah. Memang ada efek dari neraca pembayaran atau capital inflow dan outflow, inflasi dan kondisi perekonomian. The Fed akan terlambat mengantisipasi perubahan inflasi dan mengubah kebijakan bunganya sehingga mendorong nilai tukar melemah.
  4. Mundurnya Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe akibat alasan kesehatan membuat mata uang Yen menguat secara signifikan terhadap dolar AS. Penerus Abe mungkin akan mengubah kebijakan ekonomi dan stimulus Abenomics yang selama ini dilakukan. Yen sebagai mata uang safe haven mengalami penguatan. Hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Tetapi hal ini dapat mendukung penguatan nilai tukar rupiah karena terjadi pelemahan dolar AS di pasar.
  5. Terkait anggaran bantuan lanjutan untuk mengatasi krisis COVID-19 di AS nampaknya belum menemukan titik terang. Hal ini disampaikan Ketua DPR AS Nancy Pelosi, setelah melakukan pembicaraan dengan Kepala Staf Gedung Putih, Mark Meadows. Partai Demokrat dan Republik tetap berbeda mengenai seberapa banyak yang harus digelontorkan untuk anggaran bantuan virus corona berikutnya. Pasar keuangan mendapatkan sentimen positif setelah seorang pembantu utama Presiden Donald Trump mengatakan presiden akan menandatangani RUU stimulus bantuan virus corona senilai US$1,3 triliun. Ini merupakan lanjutan tunjangan pengangguran darurat untuk jutaan orang Amerika yang selesai akhir Juli. Ini merupakan sentimen positif bagi pasar keuangan.
  6. Mulai bangkitnya pandemi COVID-19 di Eropa menimbulkan kekhawatiran dapat menghambat pemulihan ekonomi yang sedang terjadi di kuartal kedua. Beberapa data zona Eropa juga menunjukan perlambatan pemulihan. Salah satu data yakni sentimen konsumen Jerman turun menjelang September. Ini menimbulkan keraguan pengeluaran rumah tangga di masa depan di Jerman apakah cukup kuat untuk memacu pemulihan.
  7. Ketegangan Amerika Serikat dan China terlihat belum akan berakhir. Setelah kedua negara melanjutkan pembicaraan masalah perdagangan, kedua negara sekarang timbul masalah “hukuman” China terkait laut China Selatan. Masalah Laut China Selatan timbul setelah China melakukan uji coba peluru kendali di daerah tersebut. Sejumlah pejabat dan perusahaan China sudah dimasukkan dalam daftar hitam (blacklist) akibat dituduh terlibat dalam ‘penumpukan’ militer di wilayah perairan tersebut. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan.
  8. Pemprov DKI Jakarta kembali melakukan perpanjangan PSBB transisi. Hal ini mendorong kemungkinan besar ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini akan memperbesar kemungkinan Indonesia mengalami resesi. Upaya pemerintah pusat mendorong pertumbuhan ekonomi pada semester kedua sangat di apresiasi pelaku pasar keuangan. Pemerintah pusat agresif melakukan belanja pemerintah dan mengucurkan bantuan pada masyarakat dan UMKM, dunia usaha atau korporasi. Pemerintah akan kembali mendorong proyek infrastruktur di semester kedua ini. Hal ini menimbukan harapan pertumbuhan ekonomi di Kuartal IV-2020 akan kembali positif.
  9. IHSG berpeluang konsolidasi cenderung melemah setelah penguatan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Kami perkirakan IHSG akan bergerak dengan support di level 5.324 sampai 5.218 dan resistance di level 5.400 sampai 5.450. (SKO)