9 Tahun Berdiri, Apa Kabar OJK?
JAKARTA – Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama sembilan tahun berdiri hingga saat ini, dinilai berdampak positif terhadap sektor jasa keuangan. Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fakhrul Fulvian mengungkapkan, peran tersebut utamanya pada program peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. “Peran OJK dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, cukup menyentuh lapisan masyarakat yang sebelumnya belum […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama sembilan tahun berdiri hingga saat ini, dinilai berdampak positif terhadap sektor jasa keuangan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fakhrul Fulvian mengungkapkan, peran tersebut utamanya pada program peningkatan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia.
“Peran OJK dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, cukup menyentuh lapisan masyarakat yang sebelumnya belum terakses sistem keuangan,” ungkapnya dalam diskusi virtual “9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia”, Kamis, 3 Desember 2020.
Beberapa program yang dimaksud, seperti Layanan Keuangan Bank Tanpa Kantor Laku Pandai dan Yuk Nabung Saham.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Perkembangan ini, kata dia, terlihat dari sejumlah indikator di berbagai instrumen investasi. Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, investor dalam negeri yang membeli saham dan obligasi meningkat.
“Pasar modal yang sebelumnya didominasi oleh investor asing, saat ini situasinya lebih gradual,” ujarnya.
Fakhrul menyebutkan, mulai 2017 porsi investor lokal di pasar modal naik hingga 61% dengan kepemilikan saham mencapai 56%. Inklusi keuangan dianggap sebagai salah satu faktor pendorong peningkatan investor domestik di pasar saham.
”Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun tidak lagi bergantung pada investor asing,” tambahnya.
Hasil Survei OJK
Seperti diketahui, literasi dan inklusi keuangan di Indonesia memang menunjukkan perbaikan. Hal ini didasarkan dari hasil survei tiga tahunan (2016-2020) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dari sisi literasi, perkembangan yang terjadi relatif meningkat. Menurut sektor jasa keuangan, perbankan menempati urutan paling tinggi, yakni tumbuh menjadi 36,12% dibandingkan 28,9% pada 2016.
Kemudian, diikuti oleh sektor asuransi dari 15,8% menjadi 19,4%, dan sektor pegadaian sebesar 17,81% atau naik tipis dari 17,8%. Selanjutnya, urutan keempat ada sektor dana pensiun yang tumbuh menjadi 14,13% dari 10,9%.
Diikuti oleh sektor pasar modal sebesar 4,92% dari 4,4%. Terakhir, lembaga keuangan mikro masih tumbuh rendah, yakni 0,85%.
Meskipun hasil survei menunjukkan tren kenaikan, Wakil Direktur Instutute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, literasi keuangan di Indonesia perlu ditingkatkan.
“Secara garis besar angkanya naik, tetapi hasil ini juga menggambarkan bahwa lebih dari separuh masyarakat belum memiliki literasi keuangan yang baik,” kata Eko dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, hal ini penting karena berkaitan dengan ketersediaan akses lembaga kesejahteraan masyarakat. Selain itu, indikator ini juga berguna untuk pembangunan sektoral ke depan. Selama ini, kata Eko, banyak literatur yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sektor keuangan dengan literasi masyarakat.
“Semakin terhubung dengan sektor keuangan, maka pembangunan ekonomi bisa semakin dipercepat,” jelasnya.
Inklusi Keuangan Perbankan Paling Tinggi
Di samping literasi keuangan, indeks inklusi keuangan juga menunjukkan perbaikan. Dalam hal ini, perbankan masih tumbuh paling tinggi mencapai 73,88%. Kenaikan ini lebih baik dibandingkan 2016 sebesar 63,6%. Sementara itu, inklusi keuangan di lembaga pembiayaan mengungguli sektor asuransi, yakni 14,56% atau naik dari 11,8%.
Inklusi keuangan asuransi sendiri mengalami pertumbuhan meski tipis, dari 12,1% menjadi 13,15% pada tahun ini. Selanjutnya, ada pegadaian sebesar 12,38% atau naik dari 10,5%, dan dana pensiun yang naik dari 4,7% menjadi 6,18%.
Pasar modal dan lembaga keuangan mikro masih menjadi yang terendah untuk indeks inklusi keuangan, yakni masing-masing 1,55% dan 0,72%.
Eko mengungkapkan, hasil ini menunjukkan adanya ketimpangan literasi di sektor keuangan. “Survei menunjukkan bahwa masyarakat lebih akrab dengan perbankan dibandingkan dengan pasar modal,”
Menurut dia, OJK perlu mengupayakan kedua indeks tersebut tumbuh merata di semua sektor. Sebab, indeks literasi keuangan ini umum dijadikan oleh banyak negara sebagai penentu kebijakan strategis.
Pertumbuhan Belum Merata
Di sisi lain, Eko menambahkan, peran OJK selama sembilan tahun terakhir cukup memperlihatkan capaian yang bagus. Namun, lembaga pengawas ini masih memiliki beberapa tantangan.
Ia menyebut, OJK mesti berfokus pada pemerataan akses pembangunan, baik sektor infrastruktur maupun digital. Pasalnya, apabila dilihat berdasarkan wilayah, indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia belum merata.
Berdasarkan provinsi, literasi dan inklusi keuangan di Indonesia paling tinggi ada di DKI Jakarta, masing-masing sebesar 59,16% dan 94,76%. Adapun paling rendah terdapat di NTT masing-masing sebesar 27,82% dan 60,63%.
“Seperti halnya gambaran sektoral, inklusi dan literasi keuangan berdasarkan wilayah juga masih timpang,” tuturnya.