Pertemuan tingkat tinggi perserikatan bangsa-bangsa tentang Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) di New York. (Stop TB Partnership Indonesia (STPI))
Dunia

Ada 160 Ribu Kematian per Tahun, RI Dorong TBC Resisten Obat Masuk Agenda PBB

  • Tanpa intervensi yang serius, diperkirakan jumlah kematian akibat AMR akan meningkat hingga 10 juta jiwa per tahun pada 2050, melampaui angka kematian akibat penyakit jantung, kanker, dan diabetes.
Dunia
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Perwakilan Stop Tuberkulosis Partnership Indonesia (STPI) bersama Stop TB Partnership (STP) global dan perwakilan negara lain yang bekerja dalam upaya penanggulangan Tuberkulosis (TBC) menghadiri dengar pendapat pertemuan tingkat tinggi perserikatan bangsa-bangsa tentang Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR) di New York, Amerika Serikat.

Dalam pertemuan tersebut, STPI bersama perwakilan Stop TB Partnership lainnya menyampaikan pentingnya memasukkan upaya penanggulangan TBC Resisten Obat (RO) sebagai bagian dan target dari upaya penanggulangan AMR.

Salah satu delegasi Indonesia, Nurul Luntungan selaku Ketua Yayasan STPI mengungkapkan integrasi antara isu TBC RO dan AMR tidak hanya akan membawa manfaat bagi sistem kesehatan. “Tapi terutama untuk orang yang terdampak dengan situasi ini,” ujarnya, dikutip Minggu, 19 Mei 2024. 

Ia menambahkan, sangat disayangkan upaya untuk bekerja dengan pendekatan sistem yang lebih efisien harus terbentur kebijakan global yang tidak terfragmentasi. Komitmen politik terkait AMR pada UN-HLM 2024 ini diharapkan dapat memberikan solusi pada situasi ini dengan memasukkan TBC RO sebagai bagian penting dalam penanggulangan AMR.

Perlu diketahui, resistensi antibiotik terjadi akibat evolusi bakteri yang membuat pengobatan antibiotik menjadi tidak efektif. AMR adalah salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat global saat ini. Resistensi antimikroba menyebabkan 4,9 juta kematian pada tahun 2019, dan berdampak pada kesehatan manusia, hewan, serta lingkungan di sekitarnya.

Tanpa intervensi yang serius, diperkirakan jumlah kematian akibat AMR akan meningkat hingga 10 juta jiwa per tahun pada 2050, melampaui angka kematian akibat penyakit jantung, kanker, dan diabetes. 

Ketidakmampuan mengobati infeksi secara efektif di negara berpendapatan rendah diperkirakan akan mengakibatkan hilangnya 5% PDB, mendorong 28 juta orang ke dalam kemiskinan pada tahun 2050.

Stop TB Partnership Indonesia sebagai lembaga yang terus berupaya memberantas Tuberkulosis melalui kemitraan lintas sektor, melihat peluang dari pertemuan ini untuk memperkuat upaya menanggulangi Tuberkulosis Resisten Obat (TBC-RO).

Sekitar 160 ribu kematian setiap tahunnya disebabkan TBC RO, yang juga merupakan bentuk resistensi antibiotik akibat evolusi bakteri Mycobacterium Tuberculosis, pada obat TBC lini pertama.

“Maka dari itu kami mendorong agar polemik dari TBC-RO bisa masuk ke dalam agenda penanggulangan Resistensi Antimikroba, agar kita memiliki strategi yang tidak terfragmentasi dan efisien untuk mengentaskan masalah ini,” terang Nurul.

Sebagai gambaran pada tahun 2015, World Health Organization (WHO) menerbitkan ‘Global Action Plan on Antimicrobial Resistance’ (GAP AMR) yang disahkan pada pertemuan 68th World Health Assembly (WHA) di Geneva, Swiss. 

Sasaran rencana aksi global ini yaitu menangani masalah resistensi antimikroba, termasuk resistensi antibiotik dan antibiotik yang cenderung mengalami resistensi tercepat. Pada 2016, WHO melalui International Health Regulation (IHR) membentuk Joint External Evaluation (JEE) Tools untuk melakukan pemantauan dan evaluasi di 19 area teknis, termasuk pencegahan AMR. 

Rekomendasi JEE untuk Indonesia pada 2017 mencakup berbagai aspek, termasuk pembentukan komite antar kementerian untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) AMR secara komprehensif.

Akan tetapi, tidak ada kebijakan tingkat global terkait AMR yang dikeluarkan WHO memasukkan TBC RO untuk diturunkan dalam kebijakan tingkat regional maupun nasional.

Akibatnya, RAN Pengendalian Resistensi Antimikroba 2020-2024 yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan Republik Indonesia tidak memiliki target penanggulangan TBC RO. Padahal, TBC RO merupakan bagian dari resistensi antimikroba yang terus meningkat.

Hal ini juga turut menjadi sorotan Nurul. "Rencana Aksi Global WHO tentang AMR, dan Alat Evaluasi Eksternal Bersama IHR, keduanya tidak memasukkan TBC sebagai bagian penting dan saling bergantung dari tujuan dan target strategis AMR. Ini menciptakan ketidaksesuaian, fragmentasi, dan ketidakefisienan dalam sistem kesehatan di tingkat negara dan pelaksanaannya,” jelasnya.

“Integrasi antara TB dan AMR akan saling menguntungkan sistem kesehatan negara dan orang-orang yang terdampak oleh situasi tersebut. Sangat disayangkan bahwa kebijakan global menjadi penghalang dari apa yang dibutuhkan di tingkat negara” tambah Nurul

Salah satu delegasi dari Afrika Barat, staf bagian kesehatan Nigeria mengatakan, “Jumlah penderita TB resisten obat meningkat sementara yang menerima perawatan tetap rendah. Deklarasi politik yang kuat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan hubungan ini.”

Oleh karena itu, dalam rapat dengar pendapat pada pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa kali ini, para peserta diberi kesempatan untuk berbagi pandangan mengenai prioritas utama dalam rapat tingkat tinggi dan deklarasi politik.

Mereka juga mendiskusikan tantangan dan solusi potensial untuk mengatasi masalah AMR di tingkat nasional, regional, dan global.

“Saya, mewakili suara dari negara-negara yang menghadapi frustasi serupa, mendesak deklarasi politik AMR untuk mengakui TB resisten obat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari komitmen global untuk memerangi AMR,” ungkap dia.

“Hal ini untuk memasukkan langkah-langkah yang terbukti mencegah dan mengobati TB Resisten Obat sebagai bagian dari intervensi strategis, dimana kita harus konsisten, tidak diskriminatif, dan efisien dalam sumber daya dalam strategi untuk memerangi AMR,” tutupnya.