<p>Salah satu nasabah Jiwasraya yang tergabung dalam Forum Korban Jiwasraya mengikuti aksi damai di Kantor Pusat Jiwasraya, Jakarta, Jumat, 11 Agustus 2020. Aksi dilakukan demi menuntut kejelasan atas pencairan dana bagi para nasabah korban Jiwasraya yang sudah tidak jelas selama 2 tahun belakangan ini. Seperti diketahui Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga  tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Robohnya Asuransi Jumbo (Serial 1): 3 Perusahaan Tumbang di Era Jokowi dan OJK

  • Setidaknya, dalam tujuh tahun terakhir, TrenAsia.com mencatat ada tiga perusahaan besar yang harus tumbang, antara lain PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) atau AJBB, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias ASABRI. Ketiganya sama-sama tumbang di era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Industri
Reky Arfal

Reky Arfal

Author

JAKARTA – Kasus gagal bayar perusahaan asuransi dewasa ini marak terjadi di Indonesia. Robohnya perusahaan asuransi jumbo tidak hanya merugikan jutaan nasabah, tetapi juga memunculkan citra buruk pada dunia perasuransian.

Setidaknya, dalam tujuh tahun terakhir, TrenAsia.com mencatat ada tiga perusahaan besar yang harus tumbang, antara lain PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) atau AJBB, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) alias ASABRI. Ketiganya sama-sama tumbang di era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Apa sebenarnya yang terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi situasi ini?

AJB Bumiputera
Ilustrasi Gedung Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera / Dok. Bumiputera

Perusahaan satu-satunya di Indonesia yang berstatus mutual atau perusahaan bersama ini, yaitu pemegang polis atau nasabah menjadi pemegang sahamnya, tengah dihadapkan pada kewajiban pembayaran klaim nasabah dengan nilai mencapai Rp12 triliun. Hal ini terjadi karena AJBB mengalami masalah likuiditas yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perusahaan. 

Pakar Asuransi Irvan Rahardjo mengatakan pembenahan AJBB terganjal tiga hal, yaitu praktik sedarah, tata kelola yang buruk, serta pergantian direksi terus-menerus. Irvan menjelaskan, salah satu prinsip tata kelola yang baik pada perusahaan adalah pemisahan fungsi otorisasi dan fungsi eksekusi. Dalam praktiknya, kedua fungsi otorisasi dan fungsi eksekusi di AJBB dilakukan satu tangan wewenang Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam banyak aksi korporasi.

“Tidak adanya akuntabilitas dan transparansi di tingkat BPA dengan diskresi kekuasaan yang demikian besar berpotensi salah urus dan inefisiensi,” ungkap eks Komisaris Independen AJBB tersebut.

Ketua Komisi XI DPR Dito Ganindito mengatakan penyelesaian kasus AJBB ini harus diawali dengan langkah penghapusan status mutual. Caranya melalui kesepakatan semua pemegang polis untuk membubarkan status mutual AJBB, atau melalui Peraturan Pemerintah (PP). 

Presiden Joko Widodo sebagaimana diamanatkan UU Asuransi 2014 menerbitkan PP No. 87 tahun 2019 Tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama atau Mutual. Aturan ini, menurut Dito, dinilai sebagai solusi untuk AJBB yang tengah ditimpa masalah likuiditas. PP ini berisikan aturan tentang tata kelola, persyaratan, tata cara perubahan, dan pembubaran badan hukum usaha bersama. 

PP ini memungkinkan mengganti badan perwakilan anggota (BPA) dengan rapat umum anggota (RUA). RUA inilah yang dapat dan memiliki wewenang dalam menetapkan kebijakan umum hingga menetapkan langkah penyehatan keuangan perusahaan. Namun demikian, PP ini tak kunjung diterapkan oleh anggota BPA hingga masa tugasnya selesai. Sehingga, hal ini menimbulkan problematika baru. Pasalnya, kekosongan BPA tersebut membuat RUA sukar dibentuk. 

Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) AJBB periode 2016-2018 Anna Mustamin menyebut bahwa kasus gagal bayar yang menimpa AJBB ini juga disebabkan terlambatnya regulasi yang mengatur disahkan. Padahal, PP tersebut telah diamanatkan sejak 1992 ketika UU Asuransi diciptakan. 

“Tidak ada regulasi tentang perusahaan mutual di Indonesia, padahal sudah diamanatkan sejak 1992 ketika UU Asuransi dilahirkan,” katanya. 

Dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya memfasilitasi pertemuan antara manajemen AJBB dengan perwakilan beberapa perkumpulan pemegang polis dan serikat pekerja AJBB. Pertemuan tersebut membahas pembentukan Panitia Pemilihan Badan Perwakilan Anggota (BPA). 

Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II OJK M. Ihsanuddin yang memimpin pertemuan itu menjelaskan bahwa OJK menjadi fasilitator karena manajemen belum dapat melaksanakan pertemuan yang telah diperintahkan OJK sejak sekian lama.

Asuransi Jiwasraya
Salah satu nasabah Jiwasraya yang tergabung dalam Forum Korban Jiwasraya mengikuti aksi damai di Kantor Pusat Jiwasraya, Jakarta, Jumat, 11 Agustus 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Kasus gagal bayar Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun ini bermula ketika perusahaan menunda pembayaran klaim produk asuransi JS Saving Plan yang dijual melalui bank mitra (bancassurance) sebesar Rp802 miliar pada Oktober 2018.

Saat itu, pihak Jiwasraya menyatakan pemenuhan pendanaan untuk pembayaran masih diproses. Namun sampai kini, perseroan ternyata tak kunjung memenuhi kewajibannya, hingga total polis jatuh tempo atas produk tersebut pada Oktober-Desember 2019 mencapai nilai Rp12,4 triliun.

Direktur Utama (Dirut) Jiwasraya Hexana Tri Sasongko membeberkan perusahaan pelat merah ini secara fokus bisnis sudah salah, khususnya dalam penjualan produk. Situasi ini, kata Sasongko, diperparah dengan penerbitan produk Savings Plan yang menawarkan guaranteed return 9% hingga 13% selama 2013 sampai 2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Hal ini yang dianggap Sasongko sebagai produk yang tidak masuk akal.

Akar dari permasalahan utama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Jiwasraya memang terletak pada produk tradisional dengan skema garansi tinggi jangka panjang, serta produk Saving Plan dengan guaranteed rate di atas suku bunga perbankan. Situasi tersebut diperparah dengan investasi yang bersifat high risk dan return financial instrument yang berpengaruh terhadap menurunnya tingkat kepercayaan pemegang polis. Hal itulah yang menyebabkan harga financial instrument dan likuiditas pasar turun, sehingga pencairan investasi bermasalah.

Akibatnya, penundaan pembayaran polis jatuh tempo serta menimbulkan potensi kerugian operasional perusahaan pada tahun-tahun berikutnya.

Sasongko menambahkan, ada empat permasalahan yang menimpa Jiwasraya. Yang pertama, kesalahan pembentukan harga produk atau mispricing, seperti produk tradisional berskema garansi jangka panjang (sampai dengan 14% net) dan Savings Plan yang memiliki guaranteed return 9% hingga 13% pada periode 2013-2018.

Kedua, yaitu lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk asset untuk mengejar high return. Misalnya saja, saham sebesar 22,4% (Rp5,7 triliun) dari jumlah aset finansial, hanya ditempatkan 5% di saham LQ45 atau saham yang likuid. Lalu reksa dana 59% (Rp14,9 triliun), tapi hanya 2% saja yang dikelola top tier manajer investasi Indonesia.

Permasalahan ketiga adalah adanya rekayasa harga saham (window dressing) lewat masifnya jual-beli saham dengan dressing reksa dana. Modusnya, saham yang overprice dibeli oleh Jiwasraya, lalu dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada manajer investasi, untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.

Permasalahan terakhir, tekanan likuiditas dari produk Savings Plan. Hal ini berimbas terhadap penurunan kepercayaan nasabah yang menyebabkan merosotnya penjualan. Jiwasraya juga tidak memiliki backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban sehingga terjadi kasus gagal bayar.

Kondisi tersebut lantas berakibat pada dua hal, yakni tekanan likuiditas dan melemahnya solvabilitas atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban. Untuk itu, pemerintah membentuk program restrukturisasi melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai pemegang saham PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pemerintah menetapkan Indonesia Financial Group (IFG) Life sebagai nama perusahaan pengganti PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Untuk anggaran pendiriannya, dana berasal dari penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp20 triliun yang diberikan kepada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) alias BPUI. Dengan merestrukturisasi Jiwasraya membutuhkan sokongan PMN agar liabilitas dan aset seimbang. Dalam hal memastikan IFG Life tetap sehat ke depannya, nantinya ketentuan besaran bunga imbal hasil polis juga ikut diturunkan, seperti ibunga 13% menjadi 6%-7%. 

Kini Giliran ASABRI

Ilustrasi nasabah asuransi PT Asabri (Persero) / Dok. Asabri

Pemerintah mencatat, berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) total kerugian negara sementara dari kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi periode 2012-2019 di PT ASABRI (Persero) masih menjadi yang terbesar di Indonesia yakni mencapai nilai Rp23,74 triliun. 

Jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018 dengan kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun. Jaksa Agung RI, Sanitiar (ST) Burhanuddin membeberkan kasus korupsi yang cukup besar dan ternyata melibatkan orang-orang yang sama di kasus korupsi Asuransi Jiwasraya. 

Misalnya, Benny Tjokrosaputro atau Bentjok, Direktur Utama PT Hanson International Tbk (MYRX), dan Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Keduanya juga ditetapkan sebagai tersangka di kasus korupsi ASABRI.

Kronologisnya, kasus ini bermula dari adanya kesepakatan yang dibuat oleh manajemen PT ASABRI periode 2011-2016 dan 2016-2020 dengan Benny Tjokrosaputro alias Bentjok dan Heru Hidayat  untuk mengatur dan mengendalikan portofolio investasi ASABRI dalam bentuk saham dan reksa dana.

ARD yang merupakan salah satu tersangka, sebelumnya adalah direktur utama ASABRI periode 2011-2016 yang melakukan kesepakatan dengan Bentjok. Sedangkan direktur utama periode berikutnya, SW, melakukan kesepakatan dengan Heru Hidayat.

Kesepakatan kedua direksi ini justru menimbulkan kerugian bagi perusahaan dan malah menguntungkan kedua pihak eksternal. Hal yang dilakukan selama periode tersebut adalah membeli atau menukar saham dalam portofolio ASABRI dengan saham-saham milik Heru, Bentjok dan satu pihak lainnya, yakni LP yang merupakan Direktur Utama PT Prima Jaringan.

Penempatan dana ke saham-saham milik ketiga pihak ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi untuk menunjukkan kinerja portofolio investasi ASABRI terlihat baik.

Setelah saham-saham ini masuk sebagai portofolio ASABRI, kemudian dikendalikan oleh ketiga pihak tersebut. Sebab, berdasarkan kesepakatan saham tersebut harus terlihat likuid dan bernilai tinggi, padahal transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan merugikan ASABRI. Kerugian ini disebabkan karena exit dari portofolio tersebut, ASABRI menjualnya dengan harga di bawah, alias harga yang lebih rendah ketika perusahaan membeli saham tersebut.

Kemudian untuk menghindari kerugian investasi ASABRI, saham-saham yang telah dilepas akan dibeli oleh ketiga pihak tersebut menggunakan nominee. Lalu dibeli kembali oleh ASABRI melalui reksa dana yang menggunakan saham-saham ini sebagai aset dasarnya (underlying). Reksa dana tersebut, diketahui juga dibentuk oleh manajemen investasi yang dikendalikan oleh Heru, Bentjok, dan LP. 

Pada kasus gagal bayar lain, juga terjadi pada PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life. Pada 14 Mei 2020, Kresna Life mengaku tengah mengalami masalah likuiditas yang menyebabkan pihaknya terpaksa menunda pembayaran dua produk asuransi Kresna Life, yaitu Kresna Link Investa (KLITA) dan Protecto Investa Kresna (PIK).

Kresna Life kepada nasabah bahwa masalah likuiditas yang dialami disebabkan oleh terjadinya keadaan memaksa (force majeure) akibat pandemi COVID-19. Keadaan tersebut pun berimbas kepada portofolio investasi Kresna Life di pasar modal. Walhasil, Kresna Life kehilangan kemampuan finansial untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis K-LITA dan PIK. 

Selain Kresna, manajemen WanaArtha Life juga mengumumkan kepada pemegang polis bahwa pada 21 Januari 2020 lalu, perusahaan menerima informasi secara informal mengenai perintah pemblokiran rekening efek milik perusahaan tanpa pernah menerima informasi resmi dari pihak yang berwenang. 

Atas kejadian tersebut, WanaArtha Life pun secara terbuka belum dapat memenuhi kewajiban dan hak pemegang polis. Meski begitu, pihaknya berkomitmen menindaklanjuti permasalahan tersebut dan akan segera membayar kewajiban kepada pemegang polis secara bertahap.

Belum lagi yang terjadi pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pada Agustus-September 2020 mengalami unrealized loss hingga Rp43 triliun. Akhir Desember 2020 turun menjadi Rp22,31 triliun, dan Januari 2021 unrealized loss tinggal Rp14,42 triliun. Artinya, dapat dipastikan potensi kerugian bisa naik dan bisa turun, tergantung harga saham di pasar modal yang menjadi portofolio BPJS-TK. 

Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan adanya dugaan kerugian negara senilai Rp20 triliun dalam pengelolaan dana nasabah di BPJS Ketenagakerjaan. Penyidik juga menemukan adanya investasi yang diduga merugi dari reksadana dan saham.

Negara Harus Turun Tangan
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso beserta Anggota Dewan Komisioner lainnya mengikuti upacara HUT RI ke-75 di Kantor OJK Menara Radius Prawiro Kompleks Bank Indonesia Jakarta, Senin, 17 Agustus 2020. / Ojk,go.id

Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Johan Effendi mengatakan kasus gagal bayar perusahaan asuransi disebabkan oleh lemahnya pengawasan dari regulator. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara ketatnya aturan dengan lemahnya pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Padahal, konsumen punya hak mendapatkan perlindungan atas klaim asuransi dari penanggung (perusahaan asuransi). Ia juga menambahkan, jika penanggung dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, tetap wajib memperhatikan kepentingan nasabah. 

“Dengan kata lain hak konsumen asuransi tidak boleh dirugikan dengan kondisi PKPU perusahaan asuransi, guna menjaga kepercayaan masyarakat sebagai konsumen asuransi,” jelasnya. 

Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, terang Johan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 

“Pemerintah harus mengambil tindakan penegakan proses hukum untuk melindungi konsumen jika ditemukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung pemulihan hak konsumen,” katanya. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus investigasi yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Robohnya Asuransi Jumbo.”