Ada Indikasi Pelanggaran HAKI di Aturan Kemasan Rokok Tanpa Identitas Merek
- FSP RTMM-SPSI menyatakan bahwa penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek melanggar hak pelaku usaha yang memiliki HAKI.
Nasional
JAKARTA - Rencana pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menerapkan aturan seragam kemasan rokok tanpa identitas merek mendapatkan penolakan dari Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI). Hal ini karena adanya indikasi pelanggaran hak kekayaan intelektual (HAKI).
Aturan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) ini, menurut Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto AS, berpotensi merugikan industri serta menimbulkan ancaman besar bagi lapangan kerja di sektor tembakau.
Sudarto menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada pelaku usaha dan pekerja pabrik, tetapi juga berdampak hingga ke sektor hulu, yakni petani tembakau dan cengkih, serta ritel yang menjual produk tembakau.
- Harga dan Fakta Unik Maung Garuda, Mobil Dinas Prabowo Cs
- Abdul Mu'ti Pilih Hati-hati Soal Evaluasi Kurikulum hingga Zonasi
- Bongkar Pasang, Sejak Merdeka Indonesia Sudah 12 Kali Ganti Kurikulum
"Aturan ini justru berlawanan dengan target pertumbuhan ekonomi 8% dan hilirisasi industri yang dicanangkan oleh pemerintah baru, karena akan berdampak negatif pada ekosistem industri tembakau di Indonesia," tutur Sudarto dalam media briefing di Depok, Rabu, 30 Oktober 2024.
Dianggap Langgar HAKI dan Wewenang Kemenkes
FSP RTMM-SPSI menyatakan bahwa penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek melanggar hak pelaku usaha yang memiliki HAKI. Sudarto menyebut bahwa sertifikat HAKI adalah bentuk perlindungan hukum bagi merek yang berfungsi membedakan satu produk dengan yang lainnya.
Penerapan kemasan seragam tanpa identitas merek dianggap melampaui wewenang Kemenkes, yang seharusnya hanya mengatur tentang kesehatan melalui graphic health warning (GHW) pada kemasan.
Menurut Sudarto, Rancangan Permenkes ini mengadopsi aturan internasional dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang mengatur kemasan polos, padahal Indonesia tidak meratifikasi FCTC karena mempertimbangkan kompleksitas industri tembakau di dalam negeri.
"Kemenkes melampaui batas wewenangnya dengan mencantumkan kebijakan yang tidak sesuai dengan mandat Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 maupun PP 28/2024," tambah Sudarto.
FSP RTMM-SPSI Serukan Pengawalan
FSP RTMM-SPSI menilai bahwa proses perumusan kebijakan ini kurang melibatkan peran serta pemangku kepentingan, terutama serikat pekerja. Sudarto mengungkapkan bahwa proses ini tidak melibatkan meaningful participation yang dapat memberikan ruang bagi pihak terkait untuk menyampaikan pandangan dan aspirasi.
Serikat pekerja juga menyampaikan bahwa mereka tidak akan tinggal diam dan akan terus memperjuangkan hak-hak para pekerja yang terancam oleh kebijakan ini. "Kami akan terus mengawal kebijakan ini agar pemerintah mempertimbangkan dampak luasnya pada sektor tembakau," ujar Sudarto.
Minta Pemerintah Kaji Ulang
Dengan adanya dampak yang begitu besar pada ekonomi dan lapangan kerja, FSP RTMM-SPSI mengharapkan pemerintahan baru dapat mengkaji ulang Rancangan Permenkes ini, agar tidak sampai disahkan.
Menurut Sudarto, prioritas utama pemerintah seharusnya menjaga keberlangsungan industri dalam negeri yang mampu memberikan kontribusi besar pada perekonomian dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Tuntutan untuk merevisi PP 28/2024 dan membatalkan aturan kemasan rokok tanpa identitas merek terus disuarakan oleh FSP RTMM-SPSI bersama ribuan anggota pekerja tembakau lainnya. Mereka berharap bahwa pemerintah yang baru dapat mendengarkan suara para pekerja yang merupakan salah satu bagian penting dalam struktur ekonomi nasional.