Waspada Modus Kejahatan Carding Bikin Isi Rekening Langsung Habis, Ini Cara Mencegahnya
Nasional

Ada Lebih dari 1,6 Juta Kejahatan Siber di Indonesia, Pakar Hukum UI: Perlu Solusi Lintas Disiplin

  • Perkembangan internet yang pesat di Indonesia tak hanya memberikan dampak positif. Namun juga memberikan dampak negatif untuk penggunanya. Salah satu dampak negatif tersebut yaitu Insider Siber atau kejahatan siber, yang menjadi perhatian para pakar hukum di Indonesia.

Nasional

Nadia Amila

JAKARTA - Perkembangan internet yang begitu pesat di Indonesia masih dibayangi berbagai dampak negatif, salah satunya insider siber. Kejahatan siber yang berasal dari internal organisasi ini turut menjadi perhatian para pakar hukum di Indonesia.

Pakar Hukum Universitas Indonesia, Abdul Salam mengatakan temuan terkini dari Badan Siber dan Sandi Negara menunjukkan total kejahatan anomali trafik pada tahun 2022 mencapai lebih dari 1,6 juta kali di Indonesia, meningkat dibanding sebelum pandemi COVID-19.

Menurut data tersebut, industri keuangan Indonesia menjadi sasaran utama dalam kejahatan siber, karena pengguna perbankan digital seperti mobile banking terus tumbuh di Indonesia.

Temuan tersebut senada dengan Interpol yang juga melaporkan bahwa industri keuangan di Indonesia sangat potensial atau menjadi sasaran utama, karena Indonesia mengalami pertumbuhan di dalam penggunaan perbankan digital. 

"Ancaman utama yang terdeteksi adalah, seluler, kripto, dan mobile banking di Indonesia," kata Ahmad dalam acara kajian tentang Keamanan dan Ketahanan Siber Indonesia pada Kamis, 30 Juni 2022.

Ditambahkan Abdul, jenis insider siber yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah serangan phishing, pencurian data seperti informasi pribadi, pharming hingga penipuan daring.

Abdul juga mengatakan, potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat dari kejahatan siber ini senilai Rp500 triliun.

"Riset Frost & Sullivan yang digagas bersama Microsoft menunjukkan bahwa potensi kerugian ekonomi di Indonesia akibat inside keamanan siber dapat mencapai angka US$34,2 miliar atau sekitar Rp500 triliun," kata Ahmad.

Menurut Abdul, pemerintah harus berperan aktif lewat model kolaborasi quad-helix (pemerintah -industri - akademisi - masyarakat) dalam tata kelola keamanan dan ketahanan siber, termasuk dalam perencanaan, perumusan, implementasi, termasuk crisis management center, dan evaluasi kebijakan termasuk penegakan hukumnya. 

Hal ini dikarenakan keamanan siber merupakan hal kompleks yang membutuhkan penyelesaian masalah dari berbagai macam disiplin. 

Oleh karena itu, pemerintah butuh menetapkan kebijakan keamanan dan ketahanan siber yang tepat sasaran serta memiliki dampak yang besar, dengan perannya masing-masing. Perlu juga adanya pembentukan forum multi stakeholder dengan tujuan untuk melakukan koordinasi rutin.