Ada Tren Default Obligasi, Lakukan Ini Agar Tidak Jadi Korban
JAKARTA – Ketidakpastian bisnis perusahaan pada masa pandemi COVID-19 mulai terlihat. Beberapa emiten mulai menyatakan kesulitan membayar surat utang kepada para investornya. Mengutip data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), banyak penerbit surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) mulai menunda pembayaran bunga. Dari daftar itu, nama PT Corpus Prima Mandiri dan PT Corpus Asa Mandiri […]
Industri
JAKARTA – Ketidakpastian bisnis perusahaan pada masa pandemi COVID-19 mulai terlihat. Beberapa emiten mulai menyatakan kesulitan membayar surat utang kepada para investornya.
Mengutip data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), banyak penerbit surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) mulai menunda pembayaran bunga. Dari daftar itu, nama PT Corpus Prima Mandiri dan PT Corpus Asa Mandiri jadi yang paling banyak menunda pembayaran bunga MTN.
Ada juga BUMN PT Indah Karya (Persero) yang menunda pembayaran bunga ke-6 sukuk mudharabah I tahun 2018 dan beberapa nama lainnya.
Di luar nama-nama itu, dua perusahaan berstatus Tbk yakni PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. dan PT Modernland Realty Tbk., juga menunda pembayaran obligasi. Modernland menunda pembayaran obligasi dengan nilai pokok Rp150 miliar, sementara obligasi Tiphone bernilai Rp731 miliar.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Akibat penundaan pembayaran obligasi, saham Modernland dengan kode MDLN dan saham Tiphone dengan kode TELE harus kena suspensi Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi ini jelas merugikan para investornya.
Lalu, bagaimana agar kejadian ini tidak terjadi lagi?
Analis pasar obligasi Wahyu Trenggono menerangkan, segala bentuk ketidaksesuaian antara janji yang ada di prospektus suatu obligasi dengan apa yang dilakukan oleh emiten bisa disebut sebagai default (gagal).
Wahyu menjelaskan, default ada dua, yakni default akibat ketidaksesuaian pembayaran kupon bunga dan/atau pokok sesuai yang dijanjikan (default gagal bayar), maupun default akibat ketidaksesuaian pemenuhan ketentuan-ketentuan (bukan yang terkait pembayaran bunga/pokok) yang diperjanjikan dalam prospektus atau disebut sebagai technical default.
“Kedua default tersebut sebenarnya adalah aib bagi emiten penerbit obligasi yang seharusnya dihindari,” tutur Wahyu kepada TrenAsia.com, Selasa, 7 Juli 2020.
Agar Terhindar Default
Untuk menghindari default, Wahyu menyampaikan, perusahaan jangan menerbitkan obligasi yang tidak sesuai dengan cashflow. Bila cashflow mepet dan ada potensi tidak dapat memenuhi janji kepada calon investor, sebaiknya diurungkan saja penerbitan obligasinya.
Kedua, pilih skema obligasi yang flexible. Jangan memaksakan fixed coupon, cari pilihan lain yang lebih memberikan keleluasaan pembayaran coupon. “Seperti variable rate, step down, atau bahkan zero coupon,” imbuh Wahyu.
Ketiga, jangan over promised dalam prospektus. Wahyu menggambarkan, dalam situasi yg penuh ketidakpastian, hindari menjanjikan terlalu banyak hal di dalam prospektus agar tidak menjadi penghalang atau menyulitkan pemenuhan kewajiban kepada investor.
Saran Bagi Investor
Investor juga perlu tahu beberapa hal agar tidak menjadi korban gagal bayar obligasi suatu perusahaan. Salah satunya dengan melihat rating. “Lakukan analisa laporan keuangan calon emiten pada saat sebelum membeli di saat penerbitan obligasi,” tutur Wahyu.
Selain itu, kata Wahyu, investor haru bisa memastikan kondisi industri sektoral dimana calon emiten tersebut aman dari situasi krisis saat ini.
Ketiga, lanjut Wahyu, sesudah memutuskan membeli suatu obligasi, lakukan pemantauan terhadap isu-isu seputar bisnis emiten, dan kondisi keuangan emiten.
Wahyu pun menjelaskan, kemungkinan gagal bayar obligasi atau surat utang oleh perusahaan masih sangat besar kemungkinannya. “Karena situasi akibat COVID-19 ini benar-benar di luar dugaan emiten pada saat mereka menerbitkan obligasi, yang bisa jadi 3 tahun lalu atau 5 tahun lalu,” katanya.