Ilustrasi: Tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk (Antam) / Pertambangan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) / Dok. Antam
Industri

Ada Wacana Larangan Ekspor Nikel Kadar Rendah, Asosiasi: Kami Dukung Tapi Awas Digugat Dunia!

  • Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Langkey menyambut baik wacana pemerintah soal ini. Menurutnya, ini langkah positif berkaca dari pengalaman larangan ekspor bijih nikel pada akhir 2019 lalu yang memaksa pembangunan industri hilir di Indonesia.
Industri
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung penuh wacana pemerintah untuk melarang ekspor nikel dengan olahan di bawah 70%. Larangan ini dinilai dapat mendukung industri nikel dalam negeri, tetapi butuh kajian lebih karena dapat berujung gugatan ke Indonesia.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Langkey menyambut baik wacana pemerintah soal ini. Menurutnya, ini langkah positif berkaca dari pengalaman larangan ekspor bijih nikel pada akhir 2019 lalu yang memaksa pembangunan industri hilir di Indonesia.

“Waktu itu dipaksa tutup ekspor ore (bijih), ini mau enggak mau membuat para pelaku industri hilir jadi mendekat ke bahan baku. Ini memaksa mereka berinvestasi membangun hilir di Indonesia karena bahan bakunya enggak ada,” ujar Meidy kepada TrenAsia.com, Rabu, 22 September 2021.

Meidy mengatakan memang tidak ada nilai tambah (value added) untuk negara jika kita terus-terusan mengekspor nikel setengah jadi. Padahal, smelter-smelter nikel yang sudah ada sudah diberi fasilitas, insentif, dan stimulus dari pemerintah.

“Mereka dapat tax holiday, tax allowance, bebas bea keluar, PPnBM, master lease. Kalau begitu, negara enggak dapet apa-apa,” kata Meidy.

Meidy sendiri melihat adanya wacana ini akan melengkapi pemerintah yang sudah meresmikan pabrik baterai listrik milik LG. Adanya pabrik baterai LG akan menjadi contoh untuk negara-negara lain agar ingin investasi industri hilir nikel di Indonesia.

Sebagai sumber bahan baku utama untuk baterai, Indonesia memang perlu membuat regulasi yang memaksa dunia untuk berinvestasi di industri hilir. Industri hilir ini bisa dalam bentuk stainless steel, baterai listrik, bahkan hingga kendaraan listriknya. 

Adanya larangan ekspor juga dapat membuat over-demand di perdagangan nikel dunia karena kehabisan bahan baku dari produsen terbesar dunia. Dengan begitu, harganya akan jadi melambung. 

Perlu Kajian

Meski begitu, Meidy pun memperingatkan pemerintah untuk melakukan kajian terlebih dahulu jika ingin serius menetapkan wacana ini. Dirinya khawatir wacana ini bisa mengurungkan rencana perusahaan asing yang sudah berencana membangun pabrik nikel di Indonesia.

Data APNI menunjukkan ada 98 pabrik nikel yang akan dibangun di Indonesia pada 2025. Dari 98 pabrik tersebut, 31 pabriknya sudah berproduksi menghasilkan feronikel (konten nikel di bawah 70%). Sisanya dalam proses konstruksi dan sisanya lagi masih dalam proses perizinan.

Jika wacana benar ditetapkan, pabrik-pabrik nikel tersebut juga akan kehilangan pasarnya. Ini karena Indonesia juga belum punya pabrik yang bisa menyerap produksi nikel mereka. 

Kata Meidy, membangun industri hilir juga bukannya mudah. Perlu disiapkan tata niaganya, good mining practice, data cadangan eksplorasi, regulasi, pasar, infrastruktur, daln lain-lain.

“Misalnya electric vehicle, ini kan baru di Indonesia. Apakah electric vehicle sudah sesuai dengan masyarakat di Indonesia?” tutur Meidy.

Selain itu, kembali berkaca ke larangan ekspor bijih nikel pada akhir 2019, Indonesia perlu mengantisipasi adanya gugatan dari negara-negara lain. Kajian yang dilakukan pun juga perlu mempertimbangkan perdagangan komoditas dan investasi dari negara lain.

“Ingat ketika kita setop ekspor ore (bijih), kita digugat Uni Eropa. Jangan sampai kita setop produk olahan di bawah 70 persen kita digugat dunia, bukan Uni Eropa doang,” jelas Meidy.