Adu Kuat Bisnis Uang Duo Konglomerat Anthoni Salim Vs Hary Tanoesoedibjo
- Baik Anthoni Salim mau pun Hary Tanoesoedibjo saat ini masih berkutat untuk mengambangkan bisnis perbankannya masing-masing. Kita tunggu saja, siapa yang lebih piawai dalam bisnis ini, apakah Hary Tanoe atau Anthoni Salim?
Korporasi
JAKARTA - Sukar rasanya mencari orang yang tidak mengenal Anthoni Salim dan Hary Tanoesoedjibjo di Indonesia. Dua konglomerat yang sukses membangun mahligai di berbagai lini bisnis, termasuk industri jasa keuangan.
Berkat kepiawaian bisnisnya, dua orang itu masuk daftar orang paling kaya se-antero Indonesia. Menurut catatan Forbes, harta kekayaan Anthoni Salim ditaksir mencapai US$5,9 miliar atau setara Rp84,12 triliun (asumsi kurs Rp14.263 per dolar Amerika Serikat). Sementara total kekayaan Hary Tanoe disebut Forbes mencapai US$1,1 miliar atau setara Rp15,69 triliun.
Dua orang ini diketahui tengah berupaya mengembangkan bisnis di bidang perbankan. Anthoni melalui PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) dan Hary Tanoe dengan PT MNC Bank Internasional Tbk (BABP).
- Akhirnya, Tokopedia Geser Shopee Jadi Raja e-Commerce Indonesia
- 10 e-Commerce Terlaris pada Pertengahan 2021: Tokopedia Masih Jadi Jawara
- Bakal Disetop Xi Jinping, Ternyata 71 Persen Pembangkit Batu Bara di Indonesia Dibiayai China
Jejak Anthoni dan Hary di Industri Perbankan
Keluarga Salim memang telah lama berkutat di bisnis perbankan. Sebelum menguasai Bank INA, keluarga konglomerat ini lebih dulu berhasil membangun PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi bank swasta terbesar di Indonesia.
Cerita ini berawal dari kepiawaian ayah Anthoni, yakni Sudono Salim alias Liem Sioe Liong melihat potensi bisnis perbankan dari sebuah perusahaan konveksi bernama NV Semarang Knitting Factory.
Berdasarkan buku Liem Sioe Liong dan Salim Group, Pilar Bisnis Soeharto yang terbit pada 2016, melimpahnya kas di perusahaan swasta itu memungkinkan terjadinya aktivitas intermediasi, yakni penyaluran kredit dan penghimpunan dana. Sudono Salim, pendiri Grup Indofood, bersama Nancy Chng kemudian melancarkan aksi akuisisi terhadap perusahaan konveksi tersebut pada 1957.
Embrio BCA kemudian berasal dari situ. Sudono Salim kemudian memboyong perusahaan itu menjadi Bank Asia N.V dan memindahkan kantor pusatnya dari Semarang ke Jakarta. Tidak lama kemudian, nama bank itu diubah menjadi Bank Central Asia atau BCA.
- PGN Menang Sengketa Pajak Lagi, Laba dan Saham PGAS Diproyeksi Moncer
- Gagal Bayar Evergrande Group China Picu Dampak Sistemik hingga Indonesia?
- Modal Semakin Kuat, Bank Neo Commerce Siap Jadi Pemain Utama Bank Digital di Indonesia?
Pada 1975, BCA mengalami perkembangan pesat usai masuknya bankir yang berhasil menghidupkan kembali Bank Panin, yakni Mochtar Riady. Dengan imbal 17,8% saham di BCA, Mochtar dan keluarga Salim berhasil membuat total aset BCA melonjak jadi Rp1 triliun pada 1986.
Kejayaan Salim Group mulai redup usai BCA dihantam krisis finansial Asia pada 1997-1998. Bank rush yang terjadi kala itu membuat BCA harus menjadi Bank Take Over (BTO) serta menerima dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp144,5 triliun.
Walhasil, pemerintah langsung menguasai 92,8% saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan dana BLBI. Sejak saat itu, kepemilikan Salim Group terus berkurang drastis.
Menilik laporan keuangan BCA pada semester I-2021, nama Anthoni Salim tidak lagi ditemukan dalam daftar pemegang saham BCA. Perseroan menerangkan hal itu terjadi lantaran porsi kepemilikan Anthoni di BCA sudah kurang dari 5% sehingga namanya tercampur dengan pemegang saham publik lain.
Berbeda dari cerita kegagalan Anthoni, gurita bisnis Hary Tenoe tercatat tidak pernah mengalami guncangan hingga harus melepas perusahaannya. Hary Tanoe membangun gurita bisnis di bawah naungan MNC Group.
Perusahaan induk dari seluruh jaringan bisnis MNC Group adalah PT MNC Investama Tbk (BHIT). BHIT memiliki tiga lini bisnis subholding, yakni media & hiburan yang dikepalai PT Global Mediacom Tbk (BMTR), investasi & properti melalui PT MNC Land Tbk (KPIG), dan jasa keuangan yang dikepalai PT MNC Kapital Indonesia Tbk (BCAP).
Nah, MNC Bank tercatat terkonsolidasi dengan BCAP. Sebelum terkonsolidasi dengan BCAP, bank ini dulunya bernama Bank ICB Bumiputera. Kemudian, pada 2014, MNC Group mengakuisisi sekaligus mengubah namanya menjadi MNC Bank Internasional.
Anthoni Ogah Rambah Bank Digital
Hary Tanoe kemudian terus mengambangkan BABP lebih agresif dengan ambisinya menjadikan MNC Bank sebagai bank digital terdepan di Indonesia. Di sisi lain, Anthoni kembali ke bisnis perbankan dengan menggenggam 22,47% saham Bank Ina Perdana melalui PT Indolife Pensiontama.
Direktur Utama (Dirut) Bank Ina Perdana Daniel Budirahayu membeberkan kepemilikan Indolife berpotensi semakin meningkat karena akan mengambil haknya dalam penambahan modal perseroan melalui skema rights issue.
Harga pelaksanaan rights issue BINA berada di kisaran Rp4.200-Rp4.380 per lembar. Mengacu pada perkiraan harga tersebut, BINA bisa meraup dana paling banyak sebesar Rp1,23 triliun. Usai rights issue, kepemilikan Indolife bakal merangkak naik menjadi 23,33%.
“Untuk saat ini existing shareholders kami berkomitmen untuk exercise hak mereka,” ucap Daniel kepada TrenAsia.com.
- Lowongan Kerja Telkom 2021, Bisa untuk Fresh Graduate, Simak Posisi dan Syarat-Syaratnya!
- Raih Pekerjaan Impian Meski Baru Lulus? Simak Tips Berikut!
- Jadi Destinasi Wisata Favorit Selain Bali, Berikut Ini Fakta Unik Tentang Flores
Kendati demikian, Anthoni tampaknya belum menunjukan ambisi untuk menjadikan Bank Ina sebagai bank digital. Pasalnya, Daniel bilang, perseroan tidak berencana menjadikan Bank Ina sebagai fully digital bank.
“Untuk sementara ini kami belum ada rencana untuk menjadi bank digital sepenuh nya tetapi kami akan melengkapi digitalisasi Bank Ina yg nanti nya akan ada unit Digital Banking disamping unit konvensional yang sudah ada,” papar Daniel.
Meski begitu, Bank Ina sebenarnya digunakan Anthoni sebagai bantalan untuk menarik utang bagi perusahaan di bawah Salim Group. Berdasarkan laporan keuangan semester I-2021, sebanyak Rp163 miliar kredit Bank Ina dikucurkan untuk perusahaan terafiliasi dengan Indolife.
Adapun perusahaan Anthoni Salim yang menarik kredit dari Bank Ina terdiri dari PT PT Indomobil Multitrada, PT Indomatsumoto Press & Dies Industri, PT Indomobil Finance Indonesia, PT Indofood Fortuna Makmur, hingga PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Lalu, PT Indolakto,PT Indomobil Jasa Lintas Raya, PT Indomobil Prima Energi, PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), PT Inti Prima Cemerlang, dan PT Suzuki Indomobil Sales.
Selain itu, Indolife juga menjadi Bank Ina sebagai mitra pembayaran premi. “Bank Ina akan terus ditingkatkan seperti pembayaran premi lewat kami,” ujar Daniel.
Tangan dingin Anthoni Salim rupanya mendatangkan perbaikan kinerja di Bank Ina. Hingga semester I-2021, BINA menyalurkan kredit sebesar Rp3,11 triliun atau naik 6,2% year to date (ytd) dari akhir 2020 yang sebesar Rp2,82 triliun.
Di sisi lain, penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) lebih signifikan lagi, yakni melesat 38% ytd menjadi Rp9,79 triliun dari sebelumnya Rp7,10 triliun. Daniel memproyeksikan penyaluran kredit dan DPK di BINA bisa mencapai dobel digit tahun ini.
“DPK dan kredit kami proyeksikan bisa mencapai dobel digit tahun ini. Harapannya bisa berefek terhadap pertumbuhan laba dan pendapatan yang kami targetkan juga tumbuh dobel digit,” tegas Daniel.
Dari segi profitabilitas, BINA tercatat sudah cuan cukup banyak. Laba bersih emiten bersandi saham BINA ini melesat 769% year on year (yoy) pada paruh pertama tahun ini.
Laba bersih Bank Ina meroket dari Rp2,6 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp23,17 miliar pada semester I-2021.
Raihan laba bersih ini juga ditopang oleh pendapatan bunga bersih perseroan yang meningkat 30% yoy. Pendapatan bunga bersih BINA melesat jadi Rp101,24 miliar dari posisi semester I-2020 yang hanya Rp80,10 miliar.
Tidak hanya itu, pendapatan operasional BINA juga mengalami lonjakan 618% yoy dari Rp8,4 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp60,66 miliar pada semester I-2021. Lonjakan pendapatan operasional ini berasal dari raihan keuntungan atas penjualan efek-efek yang mencapai Rp48,69 miliar atau 80,2% dari total pendapatan operasional BINA.
Hary Tanoe Perkuat Digitalisasi BABP
Ketika Anthoni belum tertarik ke bank digital, lain halnya yang dilakukan Hary Tanoe di BABP. OJK tercatat telah menerbitkan izin terhadap layanan digital MotionBanking milik MNC Bank.
Tidak main-main, BABP bahkan mendatangkan Amazon Web Service (AWS) untuk memperkuat digital credit scoring dan performa MotionBanking. Hary Tanoe optimistis, MotionBanking bisa memenuhi berbagai jenis layanan keuangan nasabah.
“Ke depan, MotionBanking mampu meningkatkan layanan di semua jenis transaksi. Seperti sekarang ini saja, MotionBanking memiliki berbagai layanan keuangan seperti rekening tabungan, transfer, pembayaran kartu kredit, notifikasi real-time, dan masih banyak lagi,” jelasnya dalam media briefing MotionBanking dan AWS Senin, 27 September 2021.
- Akhirnya, Tokopedia Geser Shopee Jadi Raja e-Commerce Indonesia
- 10 e-Commerce Terlaris pada Pertengahan 2021: Tokopedia Masih Jadi Jawara
- Bakal Disetop Xi Jinping, Ternyata 71 Persen Pembangkit Batu Bara di Indonesia Dibiayai China
Sebelumnya, BABP juga mengakui tengah melakukan upaya kerja sama dengan ByteDance, induk usaha platform social commerce TikTok. Kendati demikian, Corporate Secretary MNC Bank Heru Sulistiadhi mengatakan perseroan masih dalam tahap negosiasi soal pokok-pokok kerja sama yang akan dijalin.
“Masih dalam proses. Emang ada, di kami ada prosedurnya. Insyaallah mungkin di bulan ini pasti kami informasikan kerja sama dengan ByteDance,” jelas Heru dalam diskusi virtual belum lama ini.
Selain menggandeng mitra strategis, upaya BABP mengembangkan MotionBanking juga disokong oleh penambahan modal melalui skema rights issue. BABP bakal menerbitkan paling banyak 14,23 miliar lembar saham baru. Nominal pelaksanaan tersebut berada dalam rentang harga saham BABP yang bergerak dari Rp50 pada Januari hingga mencapai Rp444 pada Agustus 2021.
PT MNC Kapital Tbk (BCAP) sebagai pemegang saham mayoritas BABP bakal turut berpartisipasi dengan mencaplok 628,93 juta lembar atau senilai Rp200 miliar. Berdasarkan prospektus BABP, kepemilikan saham BCAP masih tetap terdilusi.
Kepemilikan saham seri A BCAP di BABP terdilusi dari 32,70% menjadi 25,20% setelah rights issue rampung. BCAP juga mengalami dilusi pada kepemilikan saham seri B-nya menjadi 11,08% dari sebelumnya 12,17%.
Meski begitu, BABP masih belum memiliki stand by buyer dalam gelaran rights issue ini. Setelah dikurangi biaya emisi, BABP mengungkapkan bakal menggunakan dana ini untuk memperkokoh modal inti atau tier 1 dan ekspansi bisnis perseroan.
“Sekitar 62% akan digunakan sebagai modal untuk mendukung ekspansi kredit/aktiva produktif perseroan secara digital dan konvensional dengan porsi mayoritas digital sebesar 78% dan konvensional sebesar 22%,” ujar Manajemen dalam prospektus, Kamis, 2 September 2021.
Lalu, sebanyak 5% dana rights issue dialokasikan untuk pengembangan aplikasi MotionBanking. Dana ini menjadi suntikan perseroan untuk mengembankan credit scoring berbasis kecerdasan buatan (artifical intellegence/AI).
Manuver pengembangan bank digital ini rupanya masih belum mengangkat profitabilitas MNC Bank. Hal ini tercermin dari penurunan laba bersih 6,7% year on year (yoy) dari Rp5,13 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp4,78 miliar pada semester I-2021.
Penurunan kinerja ini dipantik oleh merosotnya pendapatan bunga BABP hingga 6,8% yoy. Jumlah pendapatan bunga BABP menipis dari Rp500,04 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp465,86 miliar pada semester I-2021.
Dari segi fungsi intermediasi bank, BABP tercatat menyalurkan kredit sebesar Rp7,69 triliun atau naik 8,10% dibandingkan dengan posisi akhir 2020 yang sebesar Rp7,12 triliun. Dari jumlah tersebut, rasio kredit bermasalah (Non performing loan/NPL) gross BABP parkir di level 4,48%.
NPL gross BABP diketahui telah menurun dibandingkan dengan semester I-2020 yang sempat menyentuh 5,53%. Meski begitu, capaian NPL Gross BABP masih bertengger di atas rata-rata industri yang sebesar 3,24%.
Kondisi ini diperburuk dengan Net Interest Margin (NIM) BABP yang merosot menjadi 3,74% dari posisi sebelumnya di semester I-2020 sebesar 4,79%. Sementara itu, Return on Asset (ROA) BABP juga semakin turun dari 0,13% pada semester I-2020 menjadi 0,11% pada semester I-2021.
Adapun penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) BABP pada paruh pertama tahun ini mencapai Rp9,93 triliun. Capaian itu telah mengalami kenaikan sebesar Rp728 miliar dibandingkan dengan posisi akhir 2020 yang sebesar Rp9,20 triliun.
Secara keseluruhan, BABP memiliki aset sebesar Rp12,15 triliun atau naik dibandingkan dengan akhir 2020 yang sebesar Rp11,65 triliun. Di sisi lain, akumulasi liabilitas BABP merangkak naik dari Rp10,10 triliun pada akhir 2020 menjadi Ro10,61 triliun pada semester I-2021.
Baik Anthoni Salim mau pun Hary Tanoesoedibjo saat ini masih berkutat untuk mengambangkan bisnis perbankannya masing-masing. Kita tunggu saja, siapa yang lebih piawai dalam bisnis ini, apakah Hary Tanoe atau Anthoni Salim?