Ilustrasi lokasi pertambangan emas, tembaga, nikel, batu bara, dan mineral lain / Dok. Archi Indonesia
Energi

Adu Pendapat Jokowi Vs Faisal Basri Tentang Keuntungan Hilirisasi Nikel

  • Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan hilirisasi mineral mengalami pro kontra, salah satunya diungkap Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan hilirisasi mineral mengalami pro kontra. Salah satunya diungkap Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri.

Faisal Basri menilai 90% upaya hilirisasi nikel hanya menguntungkan Cina. Hal tersebut langsung disanggah Jokowi dengan mengatakan, hilirisasi nikel justru telah membawa keuntungan bagi Indonesia dan ia mempertanyakan hitung-hitungan dari Faisal Basri.

Menurut Presiden dengan meningkatnya nilai ekspor nikel hasil hilirisasi, maka penerimaan negara dari pajak akan lebih besar.

"Ngitungnya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industri downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun," kata Jokowi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Nampak belum usai, Faisal Basri lagi-lagi merespon jawaban Presiden. Menurut Faisal, angka yang disampaikan oleh Jokowi tidak jelas hitungannya.

Berdasarkan data yang dipaparkan Faisal pada laman blog miliknya.  "Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh Cina," tulis faisal dilansir pada Senin, 14 Agustus 2023.

Faisal memaparkan data, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per US$.

Lalu, ia mempertanyakan dari mana angka Rp510 triliun tersbeut. Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar RP14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun.

Ia tak menampik memang ada lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Namun ia kembali mempertanyakan kemana larinya uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia.

Mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100% dimiliki oleh Cina dan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan Cina untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.

Perusahaan-perusahaan smelter Cina Menurut Faisal menikmati "karpet merah" karena dianugerahi status proyek strategis nasional.

Hilirisasi untuk Mendukung Industrialisasi di Cina

Faisal menyebut, hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh Cina dan mendukung industrialisasi di Cina, bukan di Indonesia.

"Kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21.1 %  tahun 2014 menjadi hanya 18,3%  tahun 2022, titik terendah sejak 33 tahun terakhir," lanjutnya

Keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Meskipun ada tetapi jumlahnya sangat sedikit.

Produk besi dan baja (HS 72) yang diproduksi dan diekspor terdiri dari banyak jenis . Menurutnya yang dikatakan Presiden adalah produk induknya atau produk di kelompok kode HS 72.

Hampir separuh ekspor HS 72 adalah dalam bentuk ferro alloy atau ferro nickel. Ada pula yang masih dalam bentuk nickel pig iron dan nickel matte.

Hampir semua produk-produk itu tidak diolah lebih lanjut, melainkan hampir seluruhnya diekspor ke Cina. Di Cina, produk-produk seperempat jadi itu diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Lalu, produk akhirnya dijual atau diekspor ke Indonesia.