<p>Indonesia terletak di sepanjang garis khatulistiwa dengan iradiasi energi matahari rata-rata 4,80 kWh/m2/ hari. Sehingga energi matahari menjadi pilihan yang baik sebagai alternatif sumber energi. / Bumn.go.id</p>
Industri

AESI Minta Relaksasi Kebijakan TKDN 40% untuk Pengembangan Energi Surya

  • JAKARTA – Kebijakan penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% untuk pengadaan barang dan jasa, dinilai menghambat pengembangan energi surya di Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menyebut, hal ini sulit dipenuhi oleh industri lantaran 80% kebutuhan modul surya masih didapatkan dengan cara impor. “Susah untuk memenuhi TKDN 40% karena […]

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Kebijakan penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% untuk pengadaan barang dan jasa, dinilai menghambat pengembangan energi surya di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menyebut, hal ini sulit dipenuhi oleh industri lantaran 80% kebutuhan modul surya masih didapatkan dengan cara impor.

“Susah untuk memenuhi TKDN 40% karena industrinya tidak ada,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu, 2 Juni 2021.

Ia pun meminta agar pemerintah memberikan relaksasi penurunan jumlah TKDN di sektor energi surya. Selain itu, perlu adanya pelibatan industri kecil dan menengah untuk memproduksi komponen-komponen sederhana, seperti frame, junction box, hingga pelindung kabel.

Sementara untuk industri skala besar, kata dia, bisa difokuskan pada produksi modul surya melalui pembangunan baterai kendaraan listrik. Dengan demikian, diharapkan industri di sektor ini bisa berkembang dalam jangka 3-5 tahun ke depan.

Penurunan Investasi PLTS

Diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, investasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia memang mengalami penurunan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut, penurunan ini dibuktikan dari harga jual dari PLTS terapung Cirata berkapasitas 145 Mega Watt (MW) yang sebesar 5,8 sen dolar per Kilo Watt Hour (kWh).

“Dalam satu dekade saja, penurunan biaya investasi PLTS sudah mencapai 80 persen,” mengutip keterangan tertulis.

Selain itu, ia mencontohkan hal yang sama juga terjadi di Saudi Arabia. Arifin bilang, penawaran terendah pengembangan PLTS di negara tersebut oleh ACWA Power tercatat sebesar 1,04 sen dolar per kWh.

Adapun berdasarkan market sounding oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, penawaran harga listrik PLTS terapung di beberapa lokasi kurang lebih 3,68-3,88 sen dolar per kWh.

Sebagai informasi, pemanfaatan pembangkit ini capaian terbesar masih diduduki oleh Tiongkok. Ia menjadi negara terbesar di dunia dalam memanfaatakan energi surya dengan kapasitas terpasang sebesar 263 Giga Watt (GW) pada 2019. Kemudian diikuti oleh Amerika Serikat dan Jepang, masing-masing kapasitasnya 62 GW dan 61 GW.

Meskipun demikian, Arifin tetap optimistis Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Jika potensi pasar ini dimanfaatkan secara optimal, katanya, peluang yang dapat diciptakan setiap dekade bisa mencapai 30-100 GW.

Oleh karena itu, Arifin mengaku tengah mencoba merancang regulasi yang disusun selaras dengan peluang pasar.

“Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Rancangan Peraturan Presiden harus sudah ada target pasar yang bisa menjadi daya tarik industri hulu untuk masuk berinvestasi,” ungkapnya. (RCS)