Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

AFPI Bantah Tudingan Kartel Bunga Pinjol, Ini Penjelasan Ekonom

  • AFPI membantah tudingan KPPU terkait dugaan melakukan monopoli atau kartel suku bunga pada platform fintech lending alias pinjaman online (pinjol).

Fintech

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah tudingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan melakukan monopoli atau kartel suku bunga pada platform fintech lending alias pinjaman online (pinjol). 

Bantahan tudingan sebagai kartel bunga pinjol oleh KPPU itu disampaikan Ketua AFPI Entjik S Djafar melalui gelaran konferensi pers di Jakarta Jumat, 6 Oktober 2023. Entjik mengatakan tudingan kartel bunga pinjol sebesar 0,8% per hari yang dituduhkan oleh KPPU sama sekali tidak benar. 

“Yang dituduhkan, AFPI jadi kartel untuk bunga, disebutkan 0,8%. Padahal sudah 2 tahun kita turunkan jadi 0,4%," jelas dalam siaran pers. Artinya AFPI telah menunrukan bunga harian pinjol sesuai dengan riset Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2021 lalu.

Menurut Entjik ketentuan maksimum sebesar 0,4% bukanlah bentuk kartel, melainkan merupakan langkah untuk melindungi konsumen. Sebaliknya jika ada aturan batas minimum baru dapat diartikan sebagai kartel. 

“Kalau batas maksimum (0,4 persen) bukan kartel, justru customer protection, untuk memproteksi customer, tidak boleh lebih dari sini. Yang diuntungkan konsumen. Itu yang ada di aturan kita," tegasnya.

Oleh sebab itu, Entjik berharap pihaknya dapat segera bertemu dengan KPPU untuk melakukan diskusi tentang soal topik tersebut. “Kalau kita dituduhkan monopoli bunga, bukan begitu harusnya. Saya bukan bilang salah, ini pendapat saya, tapi bukan begitu," katanya.  

Hanya Acuan

Berada di tempat terpisah, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menjelaskan sebuah asosiasi layak disebut kartel jika sudah melalukan pemaksaan dalam sebuah persaingan usaha. 

“Kalau kartel itu saya lihatnya ketika itu ada pemaksaan, itu bisa dibilang kartel. Tapi kan kalau saya lihat kan bukan pemaksaan kan, tapi adalah sebagai acuan,” kata Nailul saat dihubungi TrenAsia.com melalui sambungan telfon. 

Nailul menjelaskan yang dilakukan AFPI dapat dikatakan konsepnya menyerupai Bank Indonesia (BI) ataupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menetapkan suku bunga. “Jika menjadi acuan, maka konsepnya akan seperti penetapan suku bunga LPS ataupun BI karena sifatnya adalah acuan saja,” paparnya. 

Terlebih, AFPI juga telah mematuhi peraturan OJK, yakni menurunkan suku bunga dari 0,8% menjadi 0,4%. “Tentu AFPI juga harus mengacu kepada OJK dalam penetapan acuan suku bunga harian,” jelasnya.

Namun demikian, Nailul menyarankan terkait penetapan acuan suku bunga untuk fintech lending harus segera diputuskan baik itu dipercayakan melalui OJK bersama AFPI ataupun OJK secara mandiri. 

“Mungkin peran sebagai dewan pertimbangan untuk penentuan suku bunga itu, atau bahkan kalau bisa sebenarnya OJK yang menentukan gitu atau dengan AFPI, supaya perti halnya BI, terus kemudian LPS, dan sebagainya,” jelasnya.

Sementara untuk suku bunga di pinjol yang disebut-sebut lebih tinggi dibanding layanan perbankan, Nailul berpandangan itu merupakan sebuah kompensansi dari kemudahan dalam melakukan transaksi fintech lending. 

“Kemudahan orang itu bisa meminjam di pinjol, nah makanya memang bunga di pinjol itu tinggi gitu dan itu memang konsekuensi seperti itu, Tapi masalahnya saat ini lebih banyak ke sektor konsumtif,” terangnya.

Menurut data yang ia peroleh, sebanyak 65% orang yang meminjam uang di pinjol digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Padahal hal itu bisa dimanfaatkan sektor Usaha Mikro Kreatif daan Menengaha (UMKM), lantaran pendaftaran mudah.  

“Fintech P2P Lending lebih berperan di situ karena sifat pendaftarannya yang mudah membuat P2P Lending cocok untuk masyarakat unbanked dan underbanked. Harusnya bisa dipush ke sektor produktif terutama ke UMKM,” ungkap Nailul.