acara LawTech Mini Roundtable yang diselenggarakan AFPI secara virtual, Rabu, 27 Maret 2024.
Fintech

AFPI: Pembiayaan Fintech Lending untuk Pendidikan Bisnis Sah!

  • Dalam sebuah acara LawTech Mini Roundtable yang diselenggarakan oleh AFPI secara online, Rabu, 27 Maret 2024, Entjik menjelaskan bahwa tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk memberikan pemahaman tentang layanan keuangan, khususnya pinjaman, dalam konteks pendidikan dan teknologi.
Fintech
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah mengonfirmasi bahwa pembiayaan melalui fintech lending untuk layanan pendidikan resmi telah diakui sebagai bisnis yang sah dan memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Dengan demikian, keberadaan regulasi yang mengatur fintech lending memastikan operasionalnya aman, menjadikannya solusi keuangan yang relevan untuk sektor pendidikan.

Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, menyoroti peran fintech lending dalam mendorong inklusi di sektor pendidikan, yang telah dilakukan oleh beberapa anggota AFPI yang memiliki izin dari OJK sebagai solusi pembiayaan atau eduloan

Kerjasama antara fintech lending dan lembaga pendidikan, baik perguruan tinggi maupun lembaga kursus, telah terbukti efektif.

Menurut Entjik, pendidikan adalah kunci bagi kemajuan individu dan masyarakat, tetapi seringkali kendala finansial menjadi hambatan utama. 

Oleh karena itu, industri fintech lending telah berkomitmen untuk menyediakan layanan terbaik dalam memfasilitasi akses pendidikan melalui kolaborasi dengan lembaga keuangan.

Dalam sebuah acara LawTech Mini Roundtable yang diselenggarakan oleh AFPI secara online, Rabu, 27 Maret 2024, Entjik menjelaskan bahwa tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk memberikan pemahaman tentang layanan keuangan, khususnya pinjaman, dalam konteks pendidikan dan teknologi. 

Ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa operasional yang dilakukan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

“Industri fintech lending telah berkomitmen untuk menerapkan layanan terbaik dalam mengoptimalkan akses layanan pendidikan melalui kolaborasi antara Perguruan Tinggi dengan lembaga jasa keuangan,” kata Entjik.

Mengomentari hal ini, Kuasa Hukum AFPI dari Surya Mandela & Partners, Mandela Ignasius Sinaga, menggarisbawahi beberapa regulasi yang relevan terkait dengan pembiayaan untuk sektor pendidikan tinggi. 

Dia menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi fintech lending untuk bekerjasama dengan perguruan tinggi berdasarkan UU P2SK dan POJK 10/2022.

Selain fintech lending, Mandela juga menyebutkan bahwa bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) juga memberikan fasilitas pinjaman kepada mahasiswa tanpa sanksi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dia menegaskan bahwa tindakan fintech lending yang diduga melanggar regulasi tidak termasuk dalam wewenang KPPU.

“Tindakan fintech lending yang diduga telah melanggar Pasal 76 UU No.12/2012 bukan merupakan ruang lingkup KPPU,” kata Mandela.

Pertimbangan terkait pembiayaan pendidikan telah dijelaskan oleh Prof. Dr. Aswanto, seorang Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 

Menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, terdapat norma yang menegaskan bahwa pendanaan pendidikan tinggi tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. 

Masyarakat dapat menyumbangkan dana dari penghasilan mereka, baik itu tetap maupun tidak tetap, atau bahkan melalui kredit dari lembaga pendanaan.

Aswanto menekankan bahwa lembaga pendanaan dapat berasal dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, swasta, maupun lembaga lain seperti pinjaman online yang sah sesuai dengan peraturan OJK. 

Dia juga menegaskan bahwa akses pendanaan pendidikan adalah hak setiap individu, terutama jika akses tersebut berasal dari lembaga yang telah diotorisasi oleh regulator.

Aswanto menyoroti bahwa meskipun UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, namun pendanaannya tidak hanya dapat bergantung pada APBN karena tidak akan mencukupi. 

Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya menghargai upaya lembaga-lembaga yang berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

“Lembaga pendanaan bisa berasal dari pemerintah, swasta maupun lembaga pendanaan lain seperti pinjaman online yang legal sesuai dengan ketentuan OJK. Untuk akses pendanaan pendidikan sendiri menjadi hak masing-masing individu, apalagi aksesnya dari lembaga yang sudah diotorisasi regulator,” tutur Aswanto.

Alfonsus Wibowo, CEO Danacita, menyatakan bahwa salah satu hambatan utama dalam partisipasi masyarakat pada pendidikan tinggi di Indonesia adalah kesenjangan biaya, terutama dengan keterbatasan opsi pembiayaan eksternal. 

Hal ini mendorong Danacita untuk turut serta dalam memajukan pendidikan dengan meningkatkan jumlah pelajar pendidikan tinggi melalui solusi pembiayaan yang memperhatikan kebutuhan para pelajar dan dunia pendidikan tinggi. 

Sejak didirikan, Danacita telah mengalokasikan lebih dari Rp 400 miliar untuk biaya pendidikan pelajar di seluruh Indonesia.

Wibowo menekankan bahwa pendidikan merupakan segmen pasar yang belum sepenuhnya dilayani, dan Danacita hadir untuk mengisi kekosongan tersebut dengan memberikan akses pembiayaan yang terjangkau. 

Dia menegaskan bahwa kunci utamanya adalah memberikan solusi alternatif dalam pembiayaan yang belum banyak tersedia di pasaran. 

Dengan semangat inklusivitas, Danacita membuka peluang baru bagi mereka yang belum memiliki akses ke pembiayaan perbankan untuk mendapatkan pembiayaan pendidikan.

“Pendidikan menjadi segmen pasar yang belum banyak dilayani dan kami hadir mengisi kekosongan tersebut untuk memberikan akses pembiayaan yang terjangkau. Kata kuncinya, kami tertantang untuk memberikan solusi, yaitu alternatif pembiayaan yang selama ini tidak banyak ditemui pilihannya di pasaran. Dengan semangat inklusivitas, Danacita membuka peluang baru bagi mereka yang belum pernah memiliki akses pembiayaan perbankan,” papar Alfonsus. 

Yasmine Meylia S., Direktur Eksekutif AFPI, menyatakan bahwa penyelenggara fintech lending akan terus berusaha meningkatkan akses pembiayaan bagi masyarakat, termasuk dalam sektor pendidikan tinggi. 

Dari 101 anggota AFPI yang memiliki izin dari OJK, terdapat 4 platform yang secara khusus fokus pada pendanaan sektor pendidikan.

Menurut data OJK, hingga Januari 2024, pendanaan dari fintech lending ke sektor pendidikan mencapai Rp2,47 triliun, atau sekitar 1,49% dari total penyaluran pinjaman ke sektor produktif yang mencapai Rp 165,82 triliun. 

Secara keseluruhan, industri fintech lending telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp785 triliun dengan melibatkan 123,45 juta peminjam dan 1,4 juta pemberi pinjaman.

Yasmine mengatakan, melalui diskusi yang mendalam, AFPI bersama anggotanya bertujuan untuk mempermudah akses pembiayaan untuk sektor pendidikan. 

Meskipun hadirnya lembaga keuangan, seperti fintechlending, seharusnya mendapat dukungan, namun masih ada tantangan yang harus dihadapi. AFPI berkomitmen untuk terus mengajak seluruh anggotanya untuk memberikan kontribusi dalam mempermudah akses pembiayaan pendidikan di Indonesia.

“Kita refleksi dan koreksi pandangan-pandangan tersebut. AFPI sebagai asosiasi resmi yang membawahi fintech lending, senantiasa mengajak seluruh anggotanya untuk tumbuh memberikan kontribusi terhadap kemudahan pembiayaan pendidikan di Indonesia,” pungkas Yasmine