<p>Ilustrasi skor kredit di pinjaman online fintech P2P Lending / Shutterstock</p>

AFPI: Tren Aduan Konsumen Kredit Online Turun, Keluhan Penagihan Tak Beretika Paling Tinggi

  • Pengaduan yang dihimpun dalam layanan JENDELA AFPI saat ini sebanyak 3.726 laporan. Di dalamnya termasuk pengaduan terkait bunga, pelanggaran data pribadi, penagihan tidak beretika, restrukturisasi dan lainnya.

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkapkan adanya penurunan tren pengaduan konsumen pada industri fintech peer to peer (P2P) lending hingga November 2020.

Pengaduan yang dihimpun dalam layanan ‘Jendela’ AFPI saat ini sebanyak 3.726 laporan. Di dalamnya termasuk pengaduan terkait bunga, pelanggaran data pribadi, penagihan tidak beretika, restrukturisasi dan lainnya.

Jendela merupakan saluran informasi dan pengaduan untuk nasabah fintech yang menjadi anggota AFPI. Jika nasabah merasa dirugikan oleh salah satu anggota AFPI bisa melakukan pengaduan melalui nomor telepon 150505 pada hari kerja Senin-Jumat dan jam kerja 08.00-17.00 WIB. Bisa juga melalui email pengaduan@afpi.or.id atau melalui website www.afpi.or.id.

Executive Director AFPI Kuseryansyah bilang, penurunan jumlah pengaduan menunjukan efektivitas peranan AFPI dalam memberikan pengawasan kepada anggota. Tidak hanya itu, penurunan juga terjadi seiring sosialisasi untuk meningkatkan literasi keuangan digital yang dilakukan oleh asosiasi dan anggota kepada masyarakat.

Ia menyatakan, pihaknya akan terus hadir untuk masyarakat dengan memberikan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan digital.  

“Termasuk menerima dan menindaklanjuti pertanyaan dan pengaduan layanan fintech pendanaan, khususnya yang dijalankan oleh anggota kami,” ujarnya di Jakarta, Senin 23 November 2020.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Penagihan Tidak Beretika

Melalui layanan Jendela AFPI, asosiasi membuka layanan informasi publik dan pengaduan terkait industri fintech lending sejak Maret 2019 melalui laman resmi AFPI. Asosiasi mencatat sepanjang tahun 2020 pengaduan terbanyak sebesar 46% mengenai penagihan tidak beretika.

Kemudian, kategori pengaduan terkait restrukturisasi sebanyak 22,52%, dan disusul kategori lainnya sebesar 17,74% yang berisikan pertanyaan dan masukan dari masyarakat.

Lalu, kategori pengaduan kategori pelanggaran data pribadi ada 7,7% dan pengaduan kategori besaran bunga tercatat 5,23%.

Kuser menambahkan, jumlah pengaduan kategori penagihan tidak beretika turun signifikan. Pada November 2020, kontribusi pengaduan kategori tersebut turun menjadi hanya 1,85%.

Padahal di awal tahun, kontribusinya terhadap total pengaduan masih di angka 6,76%. Bahkan, kontribusi aduan kategori pengaduan tidak beretika pada bulan Mei 2020 hanya 1,69%.

“Hal ini dikarenakan pemberlakuan ketentuan pedoman perilaku mengenai etika penagihan Industri, serta pengawasan penerapannya terbukti efektif untuk meredam hal tersebut,” tuturnya.

Ilustrasi Fintech pinjaman online atau kredit online ilegal. / Foto: Modalrakyat.id
Masyarakat Semakin Hati-hati Memilih Pinjol

Sementara itu, Juru Bicara AFPI, Andi Taufan Garuda Putra menyatakan bahwa pada November 2020, jumlah pengaduan fintech lending ilegal mengalami penurunan sebanyak 546 pengaduan, menjadi hanya 65 laporan. Sementara pada Maret terdapat 611 laporan.

Sedangkan, berdasarkan data dalam layanan Jendela AFPI disebutkan bahwa pengaduan konsumen dari fintech pendanaan legal yang merupakan anggota AFPI sebanyak 58,4% dan fintech pendanaan ilegal sebanyak 41,6%.

“Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat semakin berhati-hati dan cerdas dalam memilih layanan fintech pendanaan yang legal dan tepercaya,” ucap CEO Amartha tersebut.

Taufan meyebut, pihaknya secara aktif berupaya menciptakan iklim industri fintech pendanaan yang lebih kondusif.

Caranya melalui pengawasan, edukasi dan membangun kerja sama dengan Direktorat Cyber Crime Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), perbankan nasional hingga Google Indonesia. (SKO)