Agar Cuan dari Ekonomi Underground tak Jatuh ke Tangan Oknum
- Di tengah seruan penundaan PPN 12% mengemuka ide legalisasi ekonomi underground. Potensi ekonomi dari bisnis bawah tanah ini memang sangat besar: 15%-20% dari PDB
Kolom
Pemerintahan baru tampaknya sudah pusing tujuh keliling untuk menambal penerimaan pajak yang tak kunjung terpenuhi. Hingga akhir Oktober lalu penerimaan pajak baru mencapai Rp1,517,53 triliun atau 76,3% dari target. Angka ini turun 0,4% dari realisasi pada bulan Oktober tahun lalu.
Apa boleh buat, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun keukeuh untuk memberlakukan PPN 12 % mulai Januari 2025, meski daya beli masyarakat kelas menengah sedang tidak baik-baik saja.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sangat gusar dengan sikap pemerintah.Apa lagi di media sosial marak ajakan menggelar gerakan mengurangi belanja. Jika gerakan itu benar-benar dilaksanakan tentu akan berdampak serius bagi industri. Selain dapat mengakibatkan kebangkrutan, PHK bisa merebak di mana-mana.
Rupanya ini menjadi perhatian Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Panjaitan. Kepada media, Jumat (29 November 2024) lalu, ia menyampaikan pemberlakuan PPN 12 persen hampir pasti akan mundur.
Menurut mantan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, pemerintah harus memberikan stimulus sebelum memberlakukan PPN 12 persen. Stimulus itu berupa keringanan [pembayaran] listrik. Jadi, ia menegaskan,”penetapan PPN 12 persen tersebut akan terlambat 2 hingga 3 bulan
Sebagaimana diketahui di tahun ular kayu pemerintah juga akan memberlakukan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), Asuransi Tanggung Jawab Pihak Ketiga untuk kedaraan bermotor, Iuran Pensiun Tambahan dan kemungkinan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Khusus Tapera yang akan memotong 2,5 persen gaji pekerja sepertinya ada peluang untuk ditunda juga. Paling tidak sinyal itu bisa dibaca dari pernyataan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Rakyat Maruarar Sirait yang baru-baru ini bilang,”kalau Tapera itu sebaiknya sukarela, tidak memaksa.”
Bagaimana dengan potongan yang lainnya, apakah juga akan ditunda? Semoga ada kabar baik berikutnya bagi kaum kelas menengah.
Terlepas dari itu, ada satu hal menarik yang sedang dijajaki pemerintah untuk menambah kas negara. Belum lama ini mengemuka wacana untuk memajaki ekonomi underground. Tak lain ini adalah aktivitas ekonomi ilegal yang luput dari pencatatan. Beberapa diantaranya, judi online, penangkapan ikan ilegal, bisnis minuman keras ilegal, hiburan malam ilegal, cukai rokok palsu dan rokok tanpa cukai.
Tentu saja selama ini ekonomi model itu berjalan sembunyi-sembunyi lantaran bersinggungan dengan sisi kriminalitas dan juga sengaja ditutupi untuk menghindari pajak.
Menurut hitungan ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, potensi ekonomi underground economy ini bisa setara 15%-20% dari PDB Indonesia.
Sementara itu di negara-negara dengan penegakan hukumnya buruk aktivitas underground economy ini proporsinya bisa mencapai hingga 60% dari PDB. Dan di negara-negara berkembang bisa mencapai 10%-120%.
Nilai Ekonomi Bawah Tanah Mencapai Rp3.600 Triliun
Untuk Indonesia, dengan asumsi nilainya setara 15% saja dari PDB Indonesia, maka kegiatan ekonomi bawah tanah ini nilainya mencapai sekitar Rp 3.600 triliun.
Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto sendiri mematok target pertumbuhan ekonomi 3% lebih tinggi dari pencapaian selama ini yang stagnan di level 5%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui saat ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus berkoordinasi untuk memetakan kegiatan-kegiatan ekonomi bawah tanah, aktivitas bisnis informal dan aktivitas bisnis ilegal.
Sri Mulyani menegaskan bahwa underground economy adalah kegiatan yang sifatnya menghindari pajak, ilegal dan bahkan kriminal. Menghadapi kegiatan ini, Kemenkeu akan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Untuk itu, Kemenkeu telah menugaskan Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu untuk menggali potensi penerimaan pajak dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut. Pemerintah juga tengah menyusun roadmap, termasuk dalam upaya menggenjot tax ratio atau rasio pajak.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi aktivitas ekonomi bawah tanah mencapai ratusan triliun per tahun. Sebagai contoh, PPATK melaporkan nilai transaksi judi daring di Indonesia saja hingga November 2024 mencapai Rp 283 triliun.
Kemudian dari perkara dugaan korupsi pengelolaan timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk 2015-2020 saja potensi kerugian negara mencapai Rp 271 triliun.
Belum lagi transaksi narkoba. Sebagai contoh penghasilan bisnis narkoba yang dikendalikan sindikat Fredy Pratama bisa mencapai Rp 50 triliun. Jumlah itu akan membengkak setelah ditambah sitaan Bea Cukai hingga September silam yang mencapai Rp20 triliun dan sitaan Polri sepanjang 2020-2024 senilai Rp31,8 triliun.
Dalam laporan yang dipublikasikan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2010 disebutkan, dari 162 negara di dunia, persentase ekonomi remang-remang terhadap PDB pada 2007 sebesar 31 persen.
Dengan memasukkan pelaku ekonomi informal ke dalam sistem pajak, pemerintah bisa menambah jumlah wajib pajak tanpa harus menaikkan tarif pajak atau mengecualikan penghasilan. Pendekatan ini dianggap lebih adil dan berkelanjutan karena tak mengurangi pendapatan negara, tetapi memperluas sumber penerimaannya.
Bercermin ke Singapura dan Malaysia
Sesungguhnya underground economy bukan barang baru bagi Indonesia. Pemerintah di Batam sempat melegalisasi judi pada 2001. Di pulau itu pernah berdiri Marina City Waterfront. Kompleks pertokoan ini bahkan pernah menjadi pusat judi paling akbar di Semenanjung Malaka. Tak aneh jika kawasan itu dijuluki sebagai Las Vegas Indonesia.
Perjudian di Marina City Waterfront menjadi atraksi paling menarik bagi penjudi dari sejumlah daerah, utamanya dari negara tetangga Singapura. Berjarak 21 kilometer dari pusat kota Batam, kawasan itu hanya membolehkan orang asing untuk mengadu peruntungan di sana. Pribumi diharamkan masuk. Namun, insiden penembakan di kawasan Nongsa mengubah arah angin kebijakan. Kini, kompleks perjudian itu seolah menjadi kota mati. Sejak 2005, semua tempat judi yang ada di Marina sudah ditinggalkan dan terbengkalai.
Sejatinya pula ide untuk menangguk keuntungan dari judi sempat hidup kembali. Pemantiknya tak lain keberhasilan negeri jiran, Singapura dan Malaysia meraup cuan dari bisnis judi.
Pada tahun 2017 Singapura yang berpenduduk 5,6 juta jiwa menangguk keuntungan dari judi sebesar 4% untuk produk domestik bruto negara kota (PDB). Kasino Singapura di desain untuk menarik pengunjung asing. Singapura mengatur pintu masuk kasino yang berbeda untuk wisatawan dan penduduk lokal.
Akan halnya Malaysia yang 60 persen penduduknya muslim juga mengizinkan bisnis judi beroperasi. Sejak tahun 1971 berdiri Genting Casino Highland, satu-satunya lokasi perjudian di Malaysia.
Karena hukum Islam melarang umat muslim bermain judi, cuma orang Malaysia nonmuslim dan orang asing bukan islam berusia 21 tahun yang dapat masuk ke kasino Genting untuk menikmati permainan Baccarat, Blackjack, Pontoon, hingga Mini Dice.
Tahun lalu Genting Berhad bisa menghasilkan pendapatan sebesar RM27,1 miliar (sekitar Rp98 triliun), naik 21% dari tahun fiskal 2022.
Dulu, Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin juga pernah menghalalkan judi. Dari bisnis haram itu gubernur periode 1966-1977 dapat membangun Jakarta, antara lain kawasan Semanggi.
Masalahnya sebagai negeri berpenduduk mayoritas Islam tentu tak mudah menghidupkan kembali kebijakan Bang Ali. Kaum agamis niscaya menentang keras.
Satu hal yang perlu diingat, bisnis haram ini pasti akan terus berjalan secara diam-diam. Dan yang menikmati keuntungan dari bisnis gelap ini, selain preman tentu saja para oknum aparat keamanan.
Bukti paling anyar adalah kasus penembakan polisi oleh polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat. Ryanto Ulil Anshar (34) Kasatreskrim Polres Solok Selatan, Sumatera Barat, 22 November lalu tewas di tangan seniornya, Ajun Komisaris Dadang Iskandar (55), Kepala Bagian Operasional Polres Solok Selatan. Ryanto tewas di Polres Solok Selatan usai mengamankan tambang emas ilegal di atas lahan seluas 1.622,66 hektar. Dadang ditengarai berperan sebagai beking di lahan pertambangan emas ilegal itu.
Nah, kalau sudah begini yang menangguk cuan hanya para oknum. Negara cuma bisa gigit jari. Kelas menengah yang jadi korbannya.