<p>Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Richard Joost Lino dan Tersangka kasus korupsi pengadaan quay container crane (QCC) / Dok ANTARA</p>
Nasional

Kerugian Negara di Kasus RJ Lino Susut dari Rp50 Miliar Jadi Rp322 Juta, Agar Kasus Tak Mangkrak?

  • omisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengebut pemberkasan kasus dugaan korupsi mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau PT Pelindo II, Richard Joost Lino.

Nasional

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengebut pemberkasan kasus dugaan korupsi mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau PT Pelindo II, Richard Joost Lino.

KPK mengumumkan kerugian negara atas dugaan korupsi pengadaan tiga quay container crane (QCC) di Pelindo II mencapai Rp322 juta.

Temuan tersebut berbeda dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menaksir total kerugian negara sebesar Rp50 miliar. Hal itu tertuang dalam laporan audit investigatif BPKP nomor LHAI-244/D6.02/2011 pada 18 Maret 2011.  

Pilihan Rasional KPK

Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, keputusan KPK untuk menjerat RJ Lino dengan barang bukti yang hanya Rp322 juta adalah langkah yang rasional. Menurutnya, pilihan ini ditempuh KPK untuk mencegah kasus dugaan korupsi di perusahaan pelat merah ini mangkrak.

“KPK harus rasional untuk menyelesaikan kasus itu. Dengan menuntaskan apa yang segera dapat dibuktikan, maka KPK berpotensi membongkar kasus ini secara perlahan,” kata Feri ketika dihubungi TrenAsia.com, Rabu 31 Maret 2021.

Temuan kerugian negara sebesar Rp322 juta dinilai Feri merupakan bukti yang solid untuk menjerat RJ Lino. Apalagi KPK ingin memberikan kepastian hukum bagi RJ Lino yang sudah menyandang status tersangka sejak 2015 silam.

RJ Lino disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Logika Pincang RJ Lino

Mantan Dirut Pelindo II ini mengakui adanya penunjukan langsung terhadap Huangdong Heavy Machinery (HDHM) sebagai pelaksana proyek. Hal ini dinilai KPK merupakan penyalahgunaan wewenang. Apalagi HDHM tidak bersedia menyerahkan dokumen harga pembelian QCC kepada Pelindo II.

“Proses pengadaan barang dan jasa ada aturannya. Tidak bisa berdasarkan perspektif RJ Lino saja,” jelas Feri

Maka, klaim RJ Lino soal pengadaan QCC tahun 2010 yang justru menguntungkan negara tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Sebelumnya, RJ Lino mengklaim harga crane yang dibelinya dari HDHM lebih murah US$500.000 per unit ketimbang proses lelang.

“Kan korupsi itu bisa terkait keuntungan yang didapatkan pihak China tersebut. Pastilah yang berkasus (RJ Lino) berkata begitu, kita kan tahu jarang di Indonesia mengakui kesalahannya,” kata Feri.

HDHM yang enggan membagikan dokumen penjualan dan sebagian barang bukti yang ada di luar negeri, kata Feri, menjadi penghambat KPK dalam membongkar kasus ini secara utuh. Kasus ini dikatakannya perlu waktu dalam menelisik barang bukti lain yang masih tertahan.

“Saya hanya menduga itu cara KPK untuk memastikan perkara jalan dengan mendahulukan alat bukti yang sudah solid. Setelah dijerat baru lah bisa membongkar barang bukti lain secara bertahap ,” jelas Feri.

Kendati demikian, dirinya menekankan kepada KPK untuk terbuka dalam proses penyelidikan kasus korupsi ini. Menurutnya, publik berhak tahu alasan di balik lamanya pengusutan kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang pelabuhan ini.

“KPK harus memberi tahu kenapa barang bukti lain terkendala. KPK mesti terbuka juga soal  kasus yang tersendat ini agar publik mengerti kenapa kasus ini lama berkembang,” pungkas Feri.