Ilustrasi kredit online atau pinjaman online (pinjol), peer to peer (P2P) lending resmi / OJK
Fintech

Agar Pembiayaan Pinjol Tak Terus Dikuasai Belanja Konsumtif

  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun aturan baru yang memungkinkan warga meminjam hingga Rp10 miliar di layanan pinjaman online (pinjol). Regulasi anyar itu diharapkan dapat mendongkrak pembiayaan di sektor produktif yang selama ini masih kurang.

Fintech

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun aturan baru yang memungkinkan warga meminjam hingga Rp10 miliar di layanan pinjaman online (pinjol).  Regulasi anyar itu diharapkan dapat mendongkrak pembiayaan di sektor produktif yang selama ini masih kurang. 

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya atau PVML, Agusman, mengatakan OJK tengah merancang aturan tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).

Agusman mengatakan aturan itu sudah masuk tahap penyelarasan. “Dalam RPOJK LPBBTI, direncanakan penyesuaian batas maksimum pendanaan produktif dari sebelumnya Rp2 miliar menjadi Rp10 miliar,” ujar Agusman dalam keterangannya, Selasa, 9 Juli 2024. 

Pihaknya menjelaskan ada sejumlah kriteria yang harus dipatuhi penyelenggara pinjol untuk dapat menawarkan pinjaman Rp10 miliar pada warga. Hal itu seperti rasio kredit macet atau TWP90 maksimal 5% dan tidak sedang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagian atau seluruhnya dari OJK.

Agusman mengklaim aturan itu bertujuan meningkatkan pertumbuhan pendanaan produktif oleh penyelenggara pinjol. Selain itu, regulasi anyar diharapkan mendorong penyaluran pendanaan ke sektor produktif mencapai 70% pada 2028. “Ini masih sesuai target, yakni fase pertama atau pada 2023 – 2024 sekitar 30% - 40%,” ujar Agusman.

Pembiayaan Produktif Terus Menurun

Saat ini porsi pembiayaan pinjol memang cenderung mengarah sektor konsumtif, meski secara tahunan pembiayaan produktif tumbuh 7,5%. Merujuk data OJK, porsi pembiayaan produktif sempat dominan pada akhir 2021, mencapai 65,88% dari total penyaluran pembiayaan.

Jumlah itu kemudian turun menjadi 42,04% pada akhir 2022. Angka itu turun kembali menjadi 31,83% pada akhir 2023. Adapun per April 2024, jumlah pembiayaan sektor produktif sebesar 31,86% dari total penyaluran pinjaman sebesar Rp6,9 triliun. 

Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menyebut pinjol saat ini memang lebih sering dipakai untuk perilaku konsumtif, terlebih pada generasi muda. Hal itu seperti liburan, membeli produk elektronik hingga menonton konser musik. “Kebutuhan pembiayaan anak muda terus meningkat seiring masuknya teknologi,” ujarnya dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.

Dia menyebut sejumlah anak muda lebih mementingkan kebutuhan seperti membeli gadget atau konser musik ketimbang kebutuhan pokok sehari-hari. “Bahkan rela war ticket konser dengan utang ke paylater dan pinjol,” tuturnya. 

Baca Juga: Cara Melunasi Utang Pinjol dengan Cepat

Kondisi itu semakin pelik apabila anak muda peminjam pinjol ternyata belum bekerja atau berpenghasilan sehingga memicu kredit macet. Data OJK, kredit macet pinjol pada April 2024 mencapai Rp1,75 triliun. 

Akademikus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Henny Marliana, mengatakan pinjol selama ini telanjur lekat dengan gaya hidup konsumtif. Hal ini ditunjang iklan yang masif disampaikan. “Mereka menanamkan gaya hidup baru dan mendorong masyarakat untuk menjadi konsumtif,” ujar Henny. 

Dia kemudian mencontohkan sebuah iklan yang berisi ajakan jalan-jalan di Bandung. “Di sana ada narasi, ‘aduh, saya enggak punya uang. Tenang aja, saya bisa dapatkan dana dengan mudah’. Jadi ada perbuatan dari pelaku usaha yang mendorong warga menjadi konsumtif,” tuturnya. 

Dia mengatakan masifnya kampanye pinjol yang mendorong hasrat berbelanja sebenarnya dapat dikendalikan apabila warga memiliki literasi keuangan. Sayangnya, dia melihat belum semua warga memahami produk jasa keuangan yang ditawarkan pada mereka. “Masyarakat dapat mengakses jasa keuangan tapi minim informasi terhadap produk jasa keuangan itu sendiri. Ini yang perlu terus diedukasi.”