Ilustrasi sampah makanan.
Nasional

Agar Rp551 Triliun Tak Menguap dari Meja Makan

  • Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun akibat food loss dan food waste (susut dan sisa makanan). Jika dikalkulasi, angka tersebut dapat menghidupi 61-125 juta orang atau 29-47% populasi rakyat Indonesia.

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun akibat food loss dan food waste (susut dan sisa makanan). Jika dikalkulasi, angka tersebut dapat menghidupi 61-125 juta orang atau 29-47% populasi rakyat Indonesia. Angka itu juga setara 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) RI. 

Butuh penanganan terpadu dan edukasi masyarakat untuk menekan dampak food loss dan food waste. Data potensi kerugian itu diungkap Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). 

Sebagai informasi, food loss adalah sampah makanan yang berasal dari bahan pangan seperti sayuran, buah-buahan atau makanan mentah yang dibuang begitu saja. Adapun food waste  adalah makanan siap konsumsi yang dibuang begitu saja ke tempat sampah. 

Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, mengatakan ada potensi kerugian negara Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun akibat sisa makanan yang tak terkelola. Selain terbuang percuma, Suharso menyebut kondisi itu memicu emisi gas rumah kaca mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek. “Angka itu setara 7,3% emisi gas rumah kaca Indonesia tahun 2019,” ujar Suharso di Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis. 4 Juli 2024. 

Pihaknya menyebut Indonesia bisa menyelamatkan potensi ekonomi ratusan triliun tersebut apabila sisa pangan yang masih layak dapat dimanfaatkan. Tak hanya itu, pengelolaan pangan yang baik dapat memenuhi kebutuhan energi dan menurunkan efek rumah kaca.

Suharso mengatakan pengendalian food loss dan food waste menjadi salah satu prioritas intervensi pemerintah pada sekotr pangan. “Sehingga dapat menekan jumlah timbulan sampah hingga separuh dan mencegah risiko kehilangan ekonomi,” ujarnya. 

Rumah Tangga Sumber Sampah Utama

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat timbunan sampah Indonesia pada 2023 mencapai 17.651.898,96 ton. Sekitar 41,1% di antaranya adalah sisa makanan. 

Rumah tangga dan aktivitas pasar (jual beli makanan) menjadi dua pihak yang bertanggung jawab dalam sampah pangan berlebih. Data menunjukkan 38,3% sampah berasal dari rumah tangga dan 22,6% dari aktivitas pasar.

Bappenas telah meluncurkan peta jalan (roadmap) Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan untuk mengantisipasi hilangnya potensi ekonomi akibat susut dan sisa pangan. 

RI juga telah bermitra dengan Denmark untuk membantu pengelolaan food loss dan food waste. “Banyak sekali pekerjaan rumah kita di isu itu,” ujar Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Vivi Yulaswati.

Direktur Program Yayasan Gita Pertiwi, Titik Eka Sasanti, mengatakan pemborosan pangan berpotensi menambah tumpukan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA). 

Di Solo, sekitar 61% dari 137.345,45 ton gunungan sampah di TPA Putri Cempo adalah sampah organik. “Ini berdampak pada efek gas rumah kaca. Ini salah satu penyebab Kota Solo akhir-akhir ini menjadi lebih panas,” ujarnya kepada TrenAsia.

Titik melihat pentingnya penguatan kelembagaan untuk merespons isu tersebut. Kelembagaan itu nantinya berfungsi mengedukasi, mengurangi serta mengelola pangan berlebih di kalangan masyarakat. 

Baca Juga: Tekan Food Loss, Pemerintah Kembangkan Teknologi Iridasi Makanan

Sejauh ini Gita Pertiwi telah menggandeng Dinas Ketahanan Pangan Jawa Tengah untuk mencanangkan penguatan kelembagaan. “Penguatan kelembagaan penting untuk menyelamatkan Indonesia dari banyaknya sampah pangan yang tidak terkendali.”

Selain mengelola sisa makanan, kelembagaan juga berfungsi mengedukasi masyarakat agar tidak menyia-nyiakan makanan. “Pengelolan sampah pangan harus dimulai dari diri sendiri. Sehingga potensi food loss dan food waste tidak meningkat dua kali lipat,” ujar Titik.

Etalase berbagi yang diinisiasi Gita Pertiwi bersama Carefood. (Gita Pertiwi)

Selama ini Gita Pertiwi intens berkolaborasi dengan banyak pihak untuk pengelolaan sisa pangan di Kota Bengawan. Pada Mei 2024, Gita Pertiwi mengelola 4 ton pangan sisa konsumsi warga Solo. Sebanyak 1 ton di antaranya masih layak konsumsi sehingga disalurkan kepada warga yan membutuhkan secara gratis. 

Gita Pertiwi bekerja sama dengan hotel, toko roti, pasar, catering hingga warga untuk penyelamatan makanan yang masih layak konsumsi. Jenis pangan yang terselamatkan bermacam-macam mulai dari sayuran ± 300 kg, paket nasi bungkus 721 kg, lauk pauk 30kg, roti 75 kg, dan bumbu dapur ± 3 kg.

Adapun 3 ton pangan yang sudah menjadi sampah dimanfaatkan sebagai pakan ternak (maggot dan ulat jerman). Hingga Juli 2024, Gita Pertiwi menargetkan dapat mengelola 15 ton food loss dan food waste yang ada di Kota Solo.