Ahli Kesehatan Sayangkan Simplifikasi Tarif Cukai Tak Kunjung Diterapkan
JAKARTA – Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) mengapresiasi langkah pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT). Sebagaimana diketahui, tarif cukai rokok naik sebesar 12,5% yang berlaku mulai 1 Februari 2021. Kendati begitu, Ketua TCSC IAKMI, Sumarjati Arjoso menyayangkan dibatalkannya simplifikasi cukai oleh pemerintah walaupun celah tarif diperkecil. “Penyederhanaan struktur […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) mengapresiasi langkah pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT).
Sebagaimana diketahui, tarif cukai rokok naik sebesar 12,5% yang berlaku mulai 1 Februari 2021.
Kendati begitu, Ketua TCSC IAKMI, Sumarjati Arjoso menyayangkan dibatalkannya simplifikasi cukai oleh pemerintah walaupun celah tarif diperkecil.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Penyederhanaan struktur tarif secara merata akan menjadi instrumen yang ideal untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus penurunan konsumsi rokok di masyarakat,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat, 11 Desember 2020.
Tak hanya itu, ia menilai, jumlah kenaikannya tidak cukup mampu untuk menekan angka prevalensi perokok. Baginya, kenaikan tarif CHT yang ideal berkisar di angka 25%, dengan harga jual eceran (HJE) naik 57%.
“Pemerintah seharusnya menaikan cukai rokok sebesar 25 persen, HJE 57 persen dan melarang penjualan rokok batangan agar lebih efektif membuat rokok sungguh-sungguh tidak terjangkau.”
Ia memahami, bahwasannya pemerintah dalam upaya mencapai target rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tak hanya mempertimbangkan satu sisi.
Terdapat lima aspek pertimbangan, yaitu prevalensi merokok pada anak dan perempuan. Lalu kesehatan publik, tenaga kerja/ petani, rokok illegal dan penerimaan negara.
Menanggapi hal ini, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Darmawan, juga menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah.
“Kewajiban pemerintah adalah menomorsatukan kesehatan publik jika ingin target utama RPJMN 2020 – 2024 tercapai dan sekaligus menikmati bonus demografi,” tukasnya.
Keterjangkauan Harga dan Prevalensi Perokok
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa upaya melindungi kesehatan masyarakat adalah upaya bersama semua pihak. Peningkatan cukai dan harga rokok yang mahal merupakan salah satu peningkatan penerimaan negara.
Ditambah lagi mengingat harga rokok di Indonesia adalah paling murah di kawasan regional.
Seperti kita ketahui, angka prevalensi merokok nasional mencapai 29%. Jumlah ini menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (WHO).
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2018), prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas di Indonesia sebesar 33,8%. Di mana sebanyak 62,9% adalah laki-laki.
Konsumsi rokok pada perokok usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan sebesar 1,9% dalam jangka waktu 5 tahun (2013 – 2018). Bahkan seorang anak sudah mulai merokok sejak usia sekolah dasar (Atlas Tembakau, 2020).
“Hal ini dikarenakan harga rokok yang murah, bisa dibeli secara batangan, dan tidak ada larangan yang tegas bagi anak-anak untuk membeli rokok. Saat ini HJE masih tergolong rendah di bawah Rp2.000, dibandingkan dengan beberapa negara lain di asia seperti India, Thailand, Filipina, Singapura dan Jepang.”