Massa yang tergabung dalam Koalisi Ojol Nasional (KON)melakukan aksi damai dikawasan Jl Medan Merdeka. Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan di antaranya meminta pemerintah untuk melegalkan ojek daring dan menuntut revisi serta penambahan Pasal Permenkominfo No 1 Tahun 2012 tentang layanan tarif pos komersial untuk mitra ojek daring dan kurir di Indonesia lebih rinci. Kamis 29 Agustus 2024. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Akademisi: Dampak Status Ojol Bagi Pengemudi Perlu Dipertimbangkan Lagi

  • Jika status ojol diformalkan, maka aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja juga memiliki hak dalam menentukan atau meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Pakar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya menilai tuntutan legalitas status perlu dipertimbangkan secara matang oleh para pengemudi ojek online (ojol) sebagai pekerja gig. 

Sebab jangan sampai, karena menginginkan status saja, justru merugikan para pengemudi ojol. 

“Jika statusnya hubungan kerja, maka para pengemudi ojol juga harus siap dengan konsekuensinya. Seperti harus siap dirumahkan jika bisnis sedang tidak bagus dan terpaksa ada pengurangan tenaga kerja,” ujar Budi, Senin 9 September 2024. 

Secara praktik, lanjut Budi, sejatinya sudah ada platform perusahaan kurir atau pengantaran barang yang status pengemudinya adalah pekerja.

“Namun karena bisnis sedang tidak baik, belum lama ini dia melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah SDM-nya. Itu juga harus jadi pertimbangan para pengemudi ojol Ketika mengajukan tuntutan,” kata Budi. 

Selain itu, jika status ojol diformalkan, maka aplikator sebagai perusahaan pemberi kerja juga memiliki hak dalam menentukan atau meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya. Misalnya saja dari sisi usia pekerja maksimal 30 tahun. Padahal saat ini, banyak pengemudi ojol yang usianya sudah diatas 40 tahun. 

“Sehingga besar kemungkinan akan banyak ojol yang tidak masuk kriteria oleh aplikator. Sementara dengan usia tersebut, mereka juga akan kesulitan mencari pekerjaan di sektor atau perusahaan lain,” jelas Budi. 

Oleh karenanya menurut Budi, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik ketimbang menuntut status yang lebih terikat. Apalagi, ojol sebagai pekerja gig seharusnya memiliki waktu yang fleksibel dalam mengatur jam kerja. 

“Saat ini dari sisi legalaitas ojol itu sudah legal dan ada di Peraturan Kementerian Perhubungan (Permenhub).  Hanya saja memang saat ini dalam Permenhub belum dijelaskan secara tegas hubungan antara pengemudi ojol dengan aplikator, apakah merupakan kemitraan atau hubungan kerja,” katanya. 

Budi memahami bahwa sebenarnya yang mendasari tuntutan pengemudi ojol dikarenakan faktor pendapatan mereka yang menurun.  “Masih ingat dulu banyak pekerja formal yang resign dan beralih menajdi ojol karena pendapatannya besar dan waktu kerja yang fleksibel. Namun saat ini situasinya berbeda. Sekarang dengan semakin bertambahnya jumlah ojol, maka potensi pendapatan ojol jadi lebih sedikit. Jadi menurut saya ini wajar. Dan jika sekarang jumlah ojol dibatasi, mereka juga pasti akan demo,” katanya. 

Untuk itu Budi menekankan kembali bahwa ada dampak yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan jika memang pengemudi ojol tetap ingin memformalitaskan statusnya tersebut. “Jadi menurut saya percuma jika hanya menuntut soal status kalau upahnya nanti sama rendah,” katanya. 

Sementara terkait tarif dan potongan dari aplikator, menurut Budi sejatinya juga telah disepakati oleh seluruh stakeholder, begitu juga dengan batas bawah dan atasnya. Sehingga apakah pembagian tarif tersebut masih sesuai atau tidaknya, tinggal dievalusi. 

“Apakah benar dugaan dari para pengemudi ojol bahwa penerapannya dilapangan melebihi dari ketentuan, dan bagaimana penggunaan dana yang dikumpulkan dari para pengemudi ojol tersebut, apakah penggunaannya sudah tepat, karena harus dikembalikan lagi kepada mitra ojol manfaatnya. Evaluasi ini yang kita tunggu dari pemerintah,” katanya.