<p>Sejumlah mahasiswa melakukan demonstrasi di Tugu Adipura, Kota Tangerang, Banten, Rabu, 7 Oktober 2020. Aksi tersebut sebagai penolakan atas pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Nasional

Akademisi Serukan Boikot Pilkada 2024 Jika Putusan MK Diabaikan

  • Sejumlah akademisi dan pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyerukan boikot Pilkada 2024 apabila DPR dan pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Nasional

Chrisna Chanis Cara

JAKARTA—Sejumlah akademisi dan pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyerukan boikot Pilkada 2024 apabila DPR dan pemerintah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka juga mendesak penghentian pembahasan RUU Pilkada lantaran dinilai membangkang dari putusan MK. Diketahui, MK baru saja mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 pada Selasa, 20 Agustus 2024. 

Putusan MK Nomor 60 memberi kesempatan partai yang tidak memiliki kursi DPRD untuk mengusung calon kepala daerah. Adapun Putusan Nomor 70 terkait batasan usia menutup rapat jalan Kaesang Pangarep untuk melaju di Pilkada 2024. 

Anggota CALS yang juga pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan DPR dan pemerintah disinyalir berupaya menganulir putusan MK lewat revisi UU Pilkada. 

Oleh karena itu, CALS mendesak Presiden dan DPR menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan MK terbaru. Pihaknya siap mendorong pembangkangan sipil apabila revisi UU Pilkada tetap dilanjutkan dengan mengesampingkan putusan MK.

“Segenap masyarakat sipil perlu melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024,” ujar Herdiansyah dalam keterangan yang diterima TrenAsia, Rabu, 21 Agustus 2024. 

Demi Pertahankan KIM Plus

CALS menilai pembahasan revisi UU Pilkada itu dilakukan untuk mempertahankan kekuatan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) yang terbentuk di Pilkada 2024. Putusan MK sendiri sebelumnya dianggap progresif karena memungkinkan hadirnya banyak alternatif kontestan di pilkada. 

Lewat Putusan Nomor 60, MK menafsirkan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). 

MK menetapkan persentase yang setara dengan persentase pada pencalonan perseorangan. Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, ketentuan tersebut memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi untuk seluruh partai politik, baik yang mendapat kursi DPRD maupun tidak. “Serta membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding lawan koalisi gemuk.”

Sementara itu, Putusan Nomor 70 menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari titik sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih, sebagaimana yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024.

“Putusan ini dapat menggulung karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah yang belum memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon,” ucap Bivitri.

Lebih lanjut, para akademisi CALS mendesak KPU menindaklanjuti Putusan Nomor 60 dan 70 dengan segera merevisi Peraturan KPU. Senada, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna, menilai DPR mestinya tidak membangkang konstitusi dengan mengabaikan putusan MK. 

Baca Juga: Viral Peringatan Darurat, Kontroversi di Balik Revisi UU Pilkada

Palguna menjelaskan putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku bagi semua pihak (erga omnes). Dia meyakini Indonesia saat ini tengah menjadi bahan olok-olok di mata dunia karena sikap memalukan Badan Legislasi DPR. 

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak santai menanggapi dinamika yang terjadi terkait putusan MK. Presiden mengaku menghormati keputusan masing-masing lembaga, baik MK maupun DPR. “Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki,” ujar Jokowi, dikutip dari kanal Youtube Sekretariat Presiden, Rabu malam. 

Sebelumnya, Baleg DPR menyetujui revisi UU Pilkada yang menganulir Putusan MK Nomor 60 dan 70. Dua poin tersebut terkait syarat pencalonan dalam pengajuan calon kepala daerah dan batas usia kepala daerah. 

Baleg menyepakati usulan ambang batas dikembalikan seperti aturan semula bagi partai yang memiliki kursi DPRD. Mereka menyepakati ambang batas 20% dari kursi DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah pemilu sebagai syarat pencalonan kepala daerah. Putusan MK hanya berlaku bagi partai politik yang tak memiliki kursi di DPRD

Baleg juga sepakat untuk menggunakan Putusan MA Nomor 23P/HUM/2024 sebagai landasan aturan batas usia dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota alias UU Pilkada. 

Putusan MA yang disahkan 29 Mei 2024 itu mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur berumur 30 tahun saat dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada 7 Februari 2025, bukan saat pendaftaran calon seperti putusan MK.