Ilustrasi Evergrande.
Dunia

Akankah Evergrande Menjadi 'momen Lehman' bagi China? Tidak Menurut Wall Street

  • Masalah di Evergrande, raksasa properti China yang sedang goyah, memunculkan ingatan kurang sedap tentang kekacauan pasar yang diikuti oleh keruntuhan Lehman Be
Dunia
Fadel Surur

Fadel Surur

Author

Masalah di Evergrande, raksasa properti China yang sedang goyah, memunculkan ingatan kurang sedap tentang kekacauan pasar yang diikuti oleh keruntuhan Lehman Bersaudara sekitar 13 tahun lalu. 

Namun, para analis dan ekonom Wall Street, menentang kecemasan yang ada dari kemungkinan kehancuran yang akan datang. Menurut mereka perbandingannya tidak sesuai.

Bahkan, analis dari Barclays berpendapat bahwa spekulasi mengenai Evergrande yang akan menjadi "momen Lehman" bagi China adalah salah besar.

"Sangat jauh kemungkinannya menurut kami," kata mereka dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.

"Memang Evergrande adalah perusahaan properti yang besar. Mungkin juga akan ada efek spillover pada sektor properti China, dengan implikasi ekonomi. Dapat dibenarkan juga bahwa ada saatnya ketika pertumbuhan China mulai mengecewakan," tambahnya.

"Meski begitu, 'momen Lehman' yang sebenarnya adalah krisis yang sangat berbeda tingkatnya. Orang-orang perlu melihat pemogokan oleh pemberi pinjaman di sebagian besar sistem keuangan, peningkatan tajam kesulitan kredit dari sektor real-estate, dan bank tidak ingin berhadapan dalam pasar antar bank," lanjut analis tersebut. Selain itu, Pemerintahan China perlu melakukan beberapa kesalahan aturan untuk menanggapi krisis yang ada.

Spillovers pasar obligasi, sejauh ini, sangat terbatas pada pengembang high-yield, menurut Wei Yao dan Michelle Lam, analis dari Société Générale dalam sebuah catatan. Pemberi pinjaman besar pada Evergrande menjumpai tekanan besar pada pasar saham, tetapi dana pinjaman mereka tidak banyak berubah. Para ekonom mencatatkan, walaupun mengobservasi ketenangan yang relatif pada pasar uang China, tanda-tanda cash hoarding mulai muncul.

Untuk pasar obligasi, nampaknya para investor "membedakan peminjam aman dan berisiko dan berharap spillover terbatas pada pasar keuangan yang lebih luas untuk saat ini," tulis ekonom SocGen. Mereka mencatat bahwa real estate China, Iboxx dengan indeks high-yield, yang melacak kinerja obligasi di luar negeri oleh sektor tersebut, mengalami penurunan sampai 20% year-to-date sepanjang minggu lalu, dengan aksi jual yang terkonsentrasi di antara beberapa peminjam berisiko, termasuk Guangzhou R&F dan Fantasia.

Sementara itu, indeks peringkat investasi sektor itu tetap stabil. Sama halnya dengan dalam negeri, menurut mereka, dengan spread kredit yang menyebar dari obligasi real-estate dengan peringkat lebih rendah melebar, karena investor menuntut lebih banyak premi untuk mengimbangi risiko, sementara spread untuk obligasi dengan peringkat lebih tinggi tetap stabil. Efek dari pasar obilgasi korporasi yang lebih luas bahkan lebih diredam.

Dengan begitu, kecemasan yang mengelilingi situasi Evergrande disalahkan atas kelemahan di seluruh ekuitas global dan aset lain yang dipandang berisiko, membuat investor pergi ke tempat aman tradisional, termasuk Treasury.

Dengan faktor lainnya yang juga berpengaruh, the Dow Jones Industrial Average DJIA, -178% ditutup dengan kerugian lebih dari 600 poin, atau 1,8%, pada hari Senin siang, setelah jatuh 972 poin pada sesi rendahnya. Benchmark large-cap S&P 500 SPX, -1,70% mengakhiri hari dengan turun 1,7% dan Nasdaq Composite COMP,-2,19% merosot lebih dari 2%.

Yield pada catatan Treasury 10-tahun TMUBMUSD10Y, 1,323% turun hampir 7 basis points ke 1,306% karena investor mencari keamanan di government paper. Yields turun saat harga utang naik.

Kejatuhan Lehman Bersaudara pada 15 September 2008 memicu kehancuran pasar dan perebutan pasar kredit yang mengancam sistem keuangan global, memicu respons darurat dari pembuat kebijakan global.

Sementara itu, para investor telah merasa khawatir sejak lama atas pasar real-estate dengan utang besar di China, walaupun ekspektasi bahwa otoritas China akan mendukung sempat mampu mengatasi kekhawatiran itu di masa lampau. Evergrande dengan utang besarnya terlihat tidak berdaya saat Beijing menekan spekulasi penuh utang tersebut.

Menurut ekonom SocGentersebut, ekonomi China terlalu bergantung pada sektor real-estate. Sebuah artikel terbaru dari Biro Riset Ekonomi Nasional memperkirakan bahwa kontribusi real-estate bagi ekonomi ada pada 30%, lebih tinggi dari ekonomi besar lainnya, termasuk A.S pada 15%, Britania Raya pada 20%, dan bahkan lebih tinggi daripada Spanyol sebelum krisis finansial.

Artikel itu menyebutkan bahwa penurunan sekitar 20% pada aktivitas real-estate akan menghasilkan cumulative loss sebesar 5-10% dari output ekonomi, dengan asumsi tanpa krisis finansial.

Tim dari Barclays berpendapat bahwa meskipun liabilitas milik Evergrande sebesar $300 miliar adalah besar, hanya sebagian kecil yang merupakan sekuritas keuangan. Sementara itu, pinjaman bank bernilai sekitar $35 miliar. "Bahkan dalam default yang kacau dengan pinjaman ini berakhir dengan sedikit pemulihan, sekali lagi, angkanya tidak cukup besar untuk mengubah skalanya," kata mereka dengan catatan bahwa sistem bank China memiliki aset sekitar $40 triliun sampai $45 triliun, dan total pinjaman lebih dari $30 triliun.

Mereka juga berpendapat bahwa sulit melihat ancaman dari luar dari $15,7 miliar liabilitas luar negeri milik Evergrande atau 56 miliar renmibi dalam liabilitas obligasi dalam negeri.

Kekhawatirannya bukan hanya tentang Evergrande menurut mereka. Mereka juga skeptis akan spillovers yang akan menghasilkan fire sale dari properti China atau membuat biaya pinjaman melonjak bagi pengembang properti lainnya, dengan catatan beberapa perusahaan telah mengalami perdagangan obligasi lebih dari 15%.

"Neraca saldo milik Evergrande bukan sebuah indikator yang baik untuk seluruh sektor real-estate; liabilitasnya telah berkembang lebih cepat dibandingkan keseluruhan sektor properti China," tulisnya, dengan catatan laba bersih Evergrande mengalami kolaps selama beberapa tahun, yang juga bertentangan dengan keseluruhan kompleksi properti.

Lebih luas lagi, analis berpendapat bahwa perbandingan kolaps Lehman tidak bisa disamakan karena krisis dengan skala seperti itu adalah peristiwa yang didorong oleh liabilitas.

Saat pasar pendanaan grosir menutup Lehman pada 2008, bank investasi tiba-tiba tidak dapat mengeluarkan Surat Berharga Komersial, bergiliran menyebabkan ledakan risiko pihak lawan karena bank menjadi takut satu sama lain. Dengan pembuat kebijakan Amerika di sisi, Lehman gagal memenuhi liabilitasnya, memicu krisis keuangan parah, kenang analis.

Situasi di China sangat berbeda, katanya. Bukan hanya karena sektor properti berhubungan dengan sistem keuangan yang tidak berada pada skala yang sama, tetapi pasar modal hutang tidak sepenuhnya berarti pendanaan. Sebaliknya, menurut mereka, China tetap menjadi ekonomi komando dan kendali.

Artinya, dalam skenario ekstrem, bahkan ketika pasar modal menutup dari perusahaan-perusahaan properti China, regulator dapat mengarahkan bank untuk memberikan pinjaman kepada mereka, menjaga mereka tetap bertahan dan mendapatkan tambahan waktu untuk "workout" jika dibutuhkan, menurut Barclays.

Pemogokan oleh pemberi pinjaman yang dilakukan besar besaran hanya akan terjadi jika otoritas membuat "aturan salah", membuat situasi melemah walaupun ada gangguan sistematis pada sitem keuangan.

"Menurut kami kecil kemungkinannya," tulis analis. "Pelajaran dari Lehman adalah bahwa risiko moral perlu disingkirkan sejenak untuk risiko sistemik."