PLTU Cirebon
Energi

Akankah PLTU Batubara di Indonesia Benar-Benar Tamat? Berikut Ulasannya

  • Pemerintah berencana untuk memensiunkan 13 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebelum tahun 2030 sebagai bagian untuk memperbaiki kualitas udara dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Energi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Presiden Joko Widodo sejak lama telah melarang pembangunan baru Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Energi Terbarukan. Langkah ini diambil sebagai bagian untuk mempercepat transisi energi bersih dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. 

Namun, larangan tersebut tidak berlaku bagi PLTU yang sudah direncanakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN periode 2021-2023. Dalam RUPTL 2021-2030, porsi kapasitas PLTU batu bara mengalami penurunan. 

Dari total kapasitas 40,6 gigawatt (GW) yang tercantum dalam rencana, PLTU batu bara hanya berkontribusi sebesar 13,8 GW. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran signifikan menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan sesuai dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon.

Pemerintah menargetkan pada akhir tahun 2030, total kapasitas pembangkit listrik yang terpasang akan mencapai 99,2 GW. Dari jumlah tersebut, sebanyak 44,7 GW masih berasal dari PLTU batu bara, sedangkan sisanya akan didominasi oleh energi terbarukan.

Rencana Penutupan 13 PLTU

Pemerintah berencana untuk memensiunkan 13 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebelum tahun 2030 sebagai bagian untuk memperbaiki kualitas udara dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Di antara PLTU yang direncanakan untuk ditutup adalah PLTU Suralaya di Banten, PLTU Paiton di Jawa Timur,  PLTU Cirebon 1 di Kabupaten Cirebon Jawa Barat, dan PLTU Ombilin yang terletak di Sumatera Barat. 

"Kalau yang sekarang dibahas itu yang kayak Suralaya, Paiton, Ombilin di Sumatera, itu termasuk di dalam 13 list itu," papar Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, di Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024 yang lalu.

PLTU Ombilin di Sumatera Barat akan dipensiunkan lebih cepat karena dianggap lebih memungkinkan dari segi teknis dan ekonomi.

"Karena disitu tidak ada gangguan masalah sosial penduduknya yang sudah enggak pake terus enggak ada pekerjanya gitu lah. Yang isunya sudah lebih mudah gitu," pungkas Eniya.

Sementara itu, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengungkap, penutupan PLTU Suralaya di Banten merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta. 

Ya PLTU mau kita rapatin nanti yang Suralaya itu kan sudah banyak polusinya ya. Dan sudah lebih 40 tahun ya, jadi kita pengen exercise kita ingin kaji kalau bisa kita tutup supaya mengurangi polusi Jakarta," Tegas Luhut, di JCC Senayan, Jakarta, Rabu 14 Agustus 2024 yang lalu.

Kenapa PLTU Harus Ditutup?

PLTU batubara harus ditutup karena dampak merusak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Pembakaran batubara menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2), gas rumah kaca utama yang berkontribusi pada perubahan iklim global. Selain itu, polutan berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikel debu, yang dapat merusak kualitas udara dan menyebabkan masalah kesehatan seperti penyakit pernapasan dan jantung. 

Aktivitas pertambangan batubara juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran tanah serta air.

Penutupan PLTU batubara menjadi langkah penting dalam transisi energi bersih dan berkelanjutan, seperti energi angin, hidro dan energi nuklir. Energi terbarukan menawarkan dampak lingkungan yang jauh lebih kecil dan mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan. 

Dengan menutup PLTU batubara, pemerintah dan perusahaan dapat meningkatkan kualitas udara, dan meminimalkan kerusakan lingkungan, serta memajukan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan melindungi kesehatan manusia.