<p>Ilustrasi industri manufaktur di pabrik saat menghadapi era new normal. / Kemenperin.go.id</p>
Industri

Akibat Ledakan Kasus COVID-19, Indonesia Akhiri Kisah Kenaikan PMI Manufaktur

  • Tren kenaikan Purchase’ Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia harus berakhir pada Juni 2021. IHS Marikit melaporkan skor PMI manufaktur Indonesia turun dari 55,3 pada Mei menjadi 53,5 pada Juni 2021.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Tren kenaikan Purchase Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia harus berakhir pada Juni 2021. IHS Marikit melaporkan skor PMI manufaktur Indonesia turun dari 55,3 pada Mei menjadi 53,5 pada Juni 2021.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu menyebut melambatnya geliat industri manufaktur ini merupakan efek dari eskalasi kasus COVID-19 sepanjang Juni 2021. Kendati turun, Febiro tetap meyakinkan geliat industri manufaktur di dalam negeri terjaga karena masih dalam zona ekspansi.

Febrio mengatakan tren PMI Manufaktur Indonesia pada kuartal III-2021 bakal semakin dinamis akibat ledakan kasus COVID-19. Dirinya pun belum bisa memastikan apakah PMI Manufaktur Indonesia bisa kembali naik pada bulan-bulan berikutnya.

“Kondisi pemulihan ekonomi ke depan akan ditentukan oleh efektivitas upaya menurunkan kasus harian Covid-19,” kata Febrio dalam keterangan tertulis, Kamis, 1 Juli 2021.

Sebagai gambaran, Indonesia tercatat terus mengalami kenaikan PMI sejak Maret 2021. Menurut data IHS Markit, PMI Manufaktur Indonesia merangkak naik dari 50,9 pada Februari, 53,2 pada Maret 2021, 54,6 pada April, dan 55,3 pada Mei 2021.

Kondisi Ketenagakerjaan Memburuk

Direktur Riset Center of Reform and Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan potensi penurunan PMI masih tinggi.  Menurutnya, intervensi kebijakan pengendalian kasus COVID-19 pemerintah yang memakan waktu cukup lama bisa menyebabkan nilai PMI Manufaktur semakin merosot.

Akibatnya, melambatnya geliat industri manufaktur bisa mendorong tingkat pengangguran. Menurut Piter, hal itu terjadi karena ruang gerak industri yang tertekan akibat kebijakan pengendalian COVID-19 seperti Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro darurat.

“Kalau sampai PPKM darurat seperti sekarang, PMI Manufaktur saya diyakini di bawah 50. Ketika itu perusahaan akan berhitung produktivitas, kalau tidak produktif bisa memilih tutup saja dan merumahkan pegawai,” ujar Piter kepada Trenasia.com, Kamis, 1 Juli 2021.

Padahal, Indonesia belum bisa mengembalikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) ke masa sebelum pandemi. Tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2021 mencapai 6,26% dari total angkatan kerja atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94%.

Tidak hanya itu, Piter menyebut lambatnya pemulihan ekonomi juga bisa memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Level pendapatan yang diterima pekerja bisa menurun sebagai akibat dari keterbatasan ruang gerak perusahaan.

Studi bertajuk The Short- and Long-Term Career Effects of Graduating in a Recession yang terbit dalam American Economic Journal pada 2012 menemukan level pendapatan tenaga kerja di masa resesi, seperti yang dialami Indonesia sekarang, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Level pendapatan yang diterima tenaga kerja di masa resesi ini pun efeknya bertahan setidaknya hingga 10 tahun ke depan. 

“Dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat terbatas, Dunia usaha hanya bisa beroperasi terbatas, ini bisa memperburuk kondisi ketenagakerjaan dalam negeri,” tegas Piter. (RCS)