Induk perusahaan Shopee asal Singapura, Sea Ltd semakin tenggelam di zona merah.
Industri

Akibat Shopee Merugi, Harta Pemilik Sea Ltd Tergerus hingga Rp165,71 Triliun

  • Saham perusahaan e-commerce dan gim asal Singapura, Sea Ltd. milik miliarder Forrest Li semakin tenggelam ke zona merah pada kuartal pertama.
Industri
Fadel Surur

Fadel Surur

Author

SINGAPURA - Saham perusahaan e-commerce dan gim asal Singapura, Sea Ltd. milik miliarder Forrest Li semakin tenggelam ke zona merah pada kuartal pertama.

Penyebabnya adalah kerugian pada platform e-commerce, Shopee yang melebar dan melonjaknya pengeluaran. 

Perusahaan itu melaporkan kerugian bersihnya yang meningkat menjadi US$580 juta dari US$422 juta pada kuartal pertama. Jika dikonversikan, jumlah itu mencapai Rp8,5 triliun dan Rp6,2 triliun dengan asumsi kurs Rp14.661,55 per dolar AS. 

Nilai kekayaan bersih real-time salah satu pendirinya, Li, juga jatuh menjadi US$4,6 miliar (Rp67,4 triliun) dari angka US$15,9 miliar (Rp232,11 triliun) pada bulan Agustus 2021.  Jika dihitung, harta Li berkurang hingga Rp165,71 triliun atau 71% dari total kekayaan bersihnya.

Biaya operasi perusahaan raksasa itu juga melonjak 68% menjadi USS$1,7 miliar (Rp24,9 triliun). Menurut pernyataan pihak perusahaan, lonjakan ini disebabkan oleh biaya pemasaran yang lebih tinggi serta pengeluaran penelitian dan pengembangan.

Sementara itu, pendapatan keseluruhan meningkat 64% menjadi US$2,9 miliar (Rp42,5 triliun). Meskipun mengalami peningkatan, kerugian operasional Shopee meningkat 77% menjadi U$810,6 juta atau setara Rp11,9 triliun.

Kerugian yang semakin besar terjadi ketika Sea mengkonsolidasikan operasi e-commerce nya karena adanya dorongan ekspansi global yang agresif belakangan ini. 

Pada bulan Maret lalu, Sea memutuskan untuk menarik diri dari India dan Prancis untuk memfokuskan operasional di Brazil, Asia Tenggara, dan Taiwan. 

“Selama dua tahun terakhir, kami telah mampu melewati ketidakpastian akibat pandemi dan menangkap peluang yang tersedia bagi kami pada seluruh bisnis,” ujar Li dalam sebuah pernyataan. 

Ia menambahkan bahwa tren makro dan ketidakpastian yang ada saat ini dapat memengaruhi dunia dalam jangka waktu pendek sampai menengah.

Kenaikan suku bunga dan lonjakan harga komoditas akibat invasi Rusia terhadap Ukraina juga dianggap dapat mengurangi prospek ekonomi global. Selain itu, pembelian online juga mengalami penurunan mengingat konsumen yang telah kembali ke beraktivitas normal. 

Di sisi lain, sektor bisnis paling menguntungkan milik Sea, hiburan digital, mengalami peningkatan 45% menjadi US$1,1 miliar (Rp16,1 triliun) dibandingkan tahun lalu. Peningkatan itu tidak diikuti oleh pemesanan yang menurun 26% ke angka US$800 juta atau setara dengan Rp11,7 miliar.

Angka pengguna aktif platform gim juga menurun 5% menjadi 615,9 juta pengguna. Penurunan ini disebabkan oleh larangan yang ditetapkan India untuk permainan Free Fire pada Februari lalu. 

Larangan itu, ditambah dengan pengurangan kepemilikan atas perusahaan oleh raksasa teknologi China, Tencent memicu aksi jual harga saham Sea. Sebelumnya, Sea sempat mencatatkan rekor tertinggi sepanjang masa US$366,99 per saham atau setara Rp5,4juta pada bulan Oktober. Sampai saat ini, penurunan yang dialami mencapai 80%.

Saham Sea telah mengalami reli sejak debutnya di Bursa Efek New York pada tahun 2017. Peningkatan paling pesat dialami saat pandemi ketika permintaan untuk bisnis gim online, e-commerce, dan pembayaran.