Bank Bisnis
Industri

Aksi Caplok Bank Mini Diprediksi Masih Ramai, Siapa Bakal Diborong?

  • Hingga 30 September 2022, setidaknya 19 bank tercatat memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun. Mayoritas dari mereka tengah menyiapkan langkah rights issue dengan “diskon” harga agar makin dilirik calon pemilik anyar. Mereka tengah berpacu dengan waktu untuk melego sahamnya agar dimiliki oleh bank ataupun pemodal yang lebih besar.
Industri
Yosi Winosa

Yosi Winosa

Author

JAKARTA –Aksi korporasi mencaplok (akuisisi) bank kecil bermodal inti minimum di bawah Rp3 triliun atau dikenal sebagai bank mini diperkirakan akan ramai di penghujung tahun 2022. Pasalnya bank mini harus memenuhi tenggat waktu yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan, di mana mereka diwajibkan memiliki modal inti minimum Rp3 triliun pada 31 Desember 2022.

Hingga 30 September 2022, setidaknya 19 bank tercatat memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun. Mayoritas dari mereka tengah menyiapkan langkah rights issue dengan “diskon” harga agar makin dilirik calon pemilik anyar. Mereka tengah berpacu dengan waktu untuk melego sahamnya agar dimiliki oleh bank ataupun pemodal yang lebih besar.

Di tengah kondisi pasar keuangan global dan lokal yang masih tidak stabil ditambah kinerja perusahaan yang tidak seluruhnya bagus serta deadline yang mepet, rasanya akan sulit bagi bank-bank mini untuk mendapat dana tambahan dari pasar modal sehingga wajar jika mereka tengah berjibaku.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpandangan selain bank besar, beberapa perusahaan teknologi dan fintek juga tengah mengincar bank-bank kecil untuk diubah menjadi bank digital ataupun pay later.

“Mungkin karena potensi pembiayaan para fintek ke depan akan lebih besar kalau mengakuisisi bank-bank kecil ini,” kata Bhima kepada TrenAsia.com, Selasa, 22 November 2022.

Ditambahkan, dengan syarat modal inti minimum yang semakin ketat ini, yang pasti jumlah bank juga akan semakin berkurang. Mereka akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem perbankan yang memiliki modal inti besar. 

Menurut Bhima, bank kecil dengan segmentasi UMKM memiliki kans jauh lebih besar untuk diakuisisi bank besar karena bisa melengkapi portofolio bank berskala besar yang tidak bermain di segmen UMKM. Hal ini menyusul diwajibkannya bank KBMI IV (Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti lebih dari Rp70 triliun) untuk turut melakukan pembiayaan ke UMKM oleh regulator.

“Mereka kan harus mengeluarkan SDM untuk memenuhi syarat pembiayaan kepada UMKM. Jadi lebih baik mereka akuisisi bank kecil yang memang sudah bergerak di segmen mikro. Itu jauh lebih murah dari pada bank yang skala besar membentuk tim khusus untuk UMKM,” tambah Bhima.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengaku belum tertarik lagi untuk memborong saham bank-bank kecil. Sebelumnya perseroan mengakuisisi Bank Royal dan RaboBank pada 2020 lalu.

“Enggak, yang ada sekarang sudah cukup," kata dia kepada TrenAsia.com

Masih Terlalu Kecil

Ekonom Bank BCA David Sumual menilai akuisisi oleh investor lain menjadi pilihan yang dapat diambil oleh bank-bank kecil yang saat ini masuk dalam kategori KBMI I (modal inti kurang dari Rp6 triliun) jika pemegang saham mayoritas saat ini urung menambah modal. 

Namun mereka juga perlu melakukan perencanaan matang untuk naik kelas ke fase selanjutnya, yaitu KMBI II (modal inti Rp6 trilliun sampai Rp14 triliun) mengingat KBMI I sebetulnya masih terlalu cekak dan sulit bagi mereka untuk meningkatkan pelayanan kredit hingga menggaet dana murah lewat pelayanan digital. 

Naasnya, jika bank mini tidak bisa memenuhi aturan modal minimum dan berganti status menjadi BPR maka mereka berpotensi kehilangan nasabahnya. Hal ini mengingat adanya keterbatasan fungsi saat menjadi BPR, misalnya tidak bisa menjual atau memfasilitasi produk tertentu. 

“Modal yang pas-pasan akan memaksa bank menyalurkan kredit dengan bunga tinggi, yang pada akhirnya memicu risiko kredit macet dan menggerus net interest margin (NIM) hingga return on asset (RoA),” kata dia kepada TrenAsia.com.

Kegamangan Pemegang Saham Pengendali

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai dari sisi pemegang saham mayoritas, mereka juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah karena harus mempertimbangkan berbagai faktor sebelum memutuskan untuk menambah modal. Salah satunya kinerja bank yang dimiliki dan prospek bisnis. 

Beberapa bank kecil mencatatkan kinerja yang tidak berjalan baik pada kuartal III-2022. PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) misalnya. Dengan modal inti sebesar Rp1,839 triliun, perusahaan masih berkutat dengan kerugian sebesar Rp172,86 miliar. Padahal di kuartal III-2021, masih membukukan laba sebesar Rp565,18 triliun. 

Lalu juga PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB). Dengan modal inti Rp2,113 triliun, perusahaan membukukan rugi Rp601,2 miliar, membengkak jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar Rp264,7 miliar.

“Kalau pemiliknya asing, pertimbangannya lebih banyak lagi. MIsalnya bagaimana bisnis perusahaan dari negara asalnya berjalan di Indonesia. Katakan ada satu pabrik yang dimiliki perusahaan Korea, tentu dia bisa mendekati pemilik pabrik tersebut untuk menawarkan pembiayaan pembangunan pabrik,” kata Piter kepada TrenAsia.com.

Menarik dan Diburu Asing

Faktanya, perbankan di Indonesia masih menarik dan dilirik investor asing. Sudah banyak nama investor asing memenuhi daftar pemiliki bank bank di Indonesia, termasuk juga bank mini. 

Investor asal Korea Selatan misalnya, APRO Financial Co Ltd yang menggenggam saham PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) dengan modal inti saat ini sekitar Rp2,969 triliun. Lalu Kookmin Bank Co Ltd yang menggenggam saham PT Bank KB Bukopin Tbk (BBKP), induk PT Bank Bukopin Syariah dengan modal inti Rp1,109 triliun. 

Lalu Investor Jepang J Trust Co Ltd yang menggenggam saham PT Bank JTrust Indonesia Tbk (BCIC) dengan modal inti Rp2,762 triliun. Investor Hong Kong Equity Global International Ltd yang menggenggam saham PT Bank Ganesha Tbk (BGTG) dengan modal inti Rp2,158 triliun.

Kemudian Investor India Bank of India yang menggenggam saham PT Bank SBI Indonesia dengan modal inti Rp2,121 triliun dan PT Bank of India Indonesia (BSDW) dengan modal inti Rp2,008 triliun. Ada juga investor Thailand Kasikorn Vision Financial Company Pte Ltd yang memiliki saham PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) dengan modal inti Rp1,347 triliun. 

Investor asal Singapura, Tolaram Group Inc memiliki saham PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR). Bahkan fintek asal China Akulaku turut menggenggam saham PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB).

Mereka semua kepincut profitabilitas perbankan Indonesia yang dinilai masih sangat baik. Net Interest Margin (NIM) Indonesia berada di level 4,8% per September 2022, jauh lebih tebal dibanding Singapura misalnya yang hanya 1%.

Selain itu, spread atau selisih suku bunga pinjaman dengan bunga simpanan di Indonesia pada 2021 mencapai 5,26%. Jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Vietnam yang hanya 4,44%, Thailand yang mencapai 2,65% dan Malaysia yang hanya 1,88%. Sebagai catatan, makin tinggi spread suku bunga, profitabilitas atau NIM perbankan juga makin baik.