Pemandangan udara menunjukkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Shika setelah gempa bumi melanda wilayah tersebut di Shika, prefektur Ishikawa, Jepang (Reuters/Kyodo)
Energi

Alasan Energi Nuklir Dipercaya Banyak Negara untuk Net Zero Emission

  • Konferensi Perubahan Iklim COP29 di Baku menyoroti energi nuklir sebagai solusi krisis energi dan perubahan iklim. Sebanyak 31 negara, termasuk El Salvador, Kazakhstan, dan Kenya, berkomitmen melipatgandakan kapasitas PLTN hingga 2050. Teknologi nuklir seperti reaktor modular kecil (SMR) semakin memperkuat peran nuklir dalam transisi energi global menuju net zero emission.

Energi

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Energi nuklir kembali menjadi topik utama dalam menghadapi krisis energi dan perubahan iklim. Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, sebanyak 31 negara menyatakan komitmen untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hingga tiga kali lipat pada periode 2020–2050. 

Deklarasi ini mencakup enam negara baru, yaitu El Salvador, Kazakhstan, Kosovo, Nigeria, Kenya, dan Turki, sehingga total negara yang berkomitmen mencapai 31, meskipun daftar lengkapnya belum diungkapkan.

Sebelumnya, pada COP28 di Dubai, lebih dari 20 negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Kanada, Prancis, Korea Selatan, Ukraina, dan Uni Emirat Arab, telah menyatakan niat serupa untuk melipatgandakan kapasitas nuklir dunia pada tahun 2050.

Langkah ini dipandang sebagai solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, memperkuat ketahanan energi, dan mencapai target net zero emission. Deklarasi ini menggarisbawahi peran energi nuklir sebagai elemen kunci dalam transisi energi global.

Energi Nuklir di Tengah Tekanan Krisis Global

Energi nuklir telah lama menjadi subjek perdebatan. Di satu sisi, nuklir menawarkan sumber energi yang bersih, efisien, dan stabil. Di sisi lain, kekhawatiran tentang limbah radioaktif, keamanan reaktor, dan risiko kecelakaan nuklir terus menjadi perhatian. 

Namun, perkembangan teknologi terbaru, seperti reaktor modular kecil (SMR) dan sistem keselamatan yang lebih maju, telah membantu mengurangi ketakutan ini. Terlebih, dunia kini menghadapi tekanan untuk segera mengurangi emisi karbon. Karenanya, PLTN muncul sebagai solusi yang menjanjikan. 

Berbeda dengan energi terbarukan seperti angin dan matahari yang bergantung pada kondisi cuaca, nuklir mampu menghasilkan energi secara konsisten tanpa emisi karbon. International Atomic Energy Agency (IAEA) melaporkan bahwa kontribusi PLTN secara global mencapai sekitar 10% dari total pembangkitan listrik dunia, dan 25% di negara-negara maju seperti Prancis.

Komitmen Global untuk Meningkatkan Kapasitas

Deklarasi untuk meningkatkan kapasitas PLTN secara global mencerminkan kepercayaan yang terus tumbuh terhadap teknologi nuklir. Beberapa negara yang memimpin tren ini adalah China, India, dan Rusia. 

Ketiganya telah menginvestasikan dana besar untuk membangun reaktor baru dan memperluas kapasitas PLTN yang ada. Bahkan, China telah menetapkan target membangun 150 reaktor baru dalam waktu 15 tahun ke depan, melampaui jumlah reaktor yang dibangun di seluruh dunia selama 35 tahun terakhir.

Di Eropa, Prancis tetap menjadi pemimpin dalam energi nuklir, dengan lebih dari 70% listriknya berasal dari PLTN. Negara ini berkomitmen untuk memperbarui armada reaktornya dan membangun unit baru guna mempertahankan posisi tersebut. Sementara itu, Inggris juga telah merancang proyek PLTN baru, seperti Hinkley Point C, untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon pada 2035.

Mengapa Nuklir Kembali Dipercaya?

Ada tiga alasan utama yang membuat nuklir menjadi pilihan strategis bagi banyak negara. Pertama, nuklir mampu menurunkan ketergantungan pada energi fosil. Di tengah volatilitas pasar minyak dan gas, energi nuklir memberikan stabilitas harga karena tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga bahan bakar. Hal ini sangat penting bagi negara-negara yang ingin meningkatkan ketahanan energinya.

Kedua, PLTN menawarkan efisiensi tinggi. Reaktor nuklir modern dapat beroperasi hingga 90% dari kapasitasnya sepanjang tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang sering mengalami intermitensi. Ini berarti negara-negara dapat memastikan pasokan listrik yang stabil, bahkan dalam kondisi ekstrem.

Ketiga, nuklir adalah solusi yang efektif untuk mencapai target net zero emission. Menurut World Nuclear Association, setiap gigawatt listrik yang dihasilkan oleh nuklir dapat mengurangi hingga 9 juta ton emisi CO2 per tahun dibandingkan dengan pembangkit listrik berbasis batu bara.

Penerapan di Berbagai Negara

Negara-negara yang telah lama mengadopsi energi nuklir memiliki rekam jejak yang baik dalam pengelolaan teknologi ini. Di Amerika Serikat, PLTN menghasilkan sekitar 20% dari total listrik nasional. Dengan teknologi yang terus berkembang, pemerintah AS berencana memperpanjang umur reaktor yang ada hingga 80 tahun dan mendanai pengembangan reaktor generasi berikutnya.

Rusia, salah satu eksportir teknologi nuklir terbesar dunia, aktif mempromosikan pembangunan PLTN di berbagai negara, termasuk Turki dan Mesir. Dengan teknologi canggih dan biaya yang kompetitif, Rusia memperkuat pengaruhnya di sektor ini sambil meningkatkan kapasitas domestiknya.

Sementara itu, negara-negara berkembang seperti Bangladesh dan Kenya baru memulai perjalanan mereka dalam energi nuklir. Dengan dukungan teknologi dari Rusia dan China, mereka melihat nuklir sebagai jalan keluar dari masalah ketahanan energi sekaligus upaya memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat.

Tantangan yang Harus Diatasi

Meski prospek nuklir terlihat menjanjikan, ada tantangan besar yang harus diatasi. Biaya awal pembangunan PLTN sangat tinggi, dengan estimasi rata-rata mencapai $6-9 miliar per unit reaktor. Selain itu, pengelolaan limbah radioaktif tetap menjadi isu yang memerlukan solusi jangka panjang. Banyak negara juga menghadapi resistensi publik terhadap energi nuklir, terutama setelah insiden besar seperti Fukushima pada 2011.

Regulasi ketat dan waktu pembangunan yang panjang juga menjadi hambatan. Proyek PLTN sering kali membutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk diselesaikan, yang membuatnya kurang kompetitif dibandingkan proyek energi terbarukan yang dapat dibangun dalam beberapa tahun saja.