Alasan IMF Sarankan Indonesia Kenakan Cukai untuk BBM
- Dalam IMF Country Report No. 24/270 yang terbit pada 7 Agustus 2024 disebutkan bahwa penerapan cukai BBM berpotensi menambah penerimaan negara senilai 0,5% dari produk domestik bruto (PDB).
Energi
JAKARTA - Internasional Monetary Fund (IMF) baru-baru ini memberikan saran untuk pemerintah Indonesia untuk mulai mengkaji atau memperkenalkan cukai baru dengan objek bahan bakar minyak (BBM).
Dalam IMF Country Report No. 24/270 yang terbit pada 7 Agustus 2024 disebutkan bahwa penerapan cukai BBM berpotensi menambah penerimaan negara senilai 0,5% dari produk domestik bruto (PDB).
“Rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih rendah dan tertinggal dari negara-negara berkembang lainnya,” tulis IMF dilansir Senin, 12 Agustus 2024.
- PP Kesehatan Dianggap Ancam Kelangsungan Industri Produk Tembakau Alternatif
- Mau Stock Split, Saham Indosat (ISAT) Ngacir 7,35 Persen
- Sambut HUT RI, 20 Apartemen Kelolaan ICM Ikut Kompetisi Futsal Antar Site
Dalam catatan yang diberikan IMF, ada sejumlah kebijakan dalam status ‘pending’ atau yang belum dilaksanakan pada MTRS 2017, seperti menurunkan threshold pengusaha kena pajak, menurunkan threshold UMKM, mengganti PPnBM dengan PPN dan cukai kendaraan bermotor.
Tak hanya itu, catatan lain yang belum terealisasi ialah menerapkan cukai BBM, menerapkan pajak minimum alternatif hingga menurunkan pajak transaksi properti (PPN dan BPHTB) dan menaikkan pajak properti (PBB). Jika pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang belum terlaksana tersebut, Indonesia diproyeksi dapat mengerek penerimaan hingga 6,1% terhadap PDB.
Penerimaan Pajak Tahun ke Tahun
Melihat target penerimaan pajak, pemerintah terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjanji mengerek pendapatan ke angka 23% terhadap PDB. Sementara per 2023, tax-to-gdp ratio atau rasio pajak Indonesia berada di angka 10,2%, turun dari 2022 yang sebesar 10,39%.
Sedangkan pada 2024 sendiri, pemerintah mengejar target pendapatan negara dari perpajakan yang dipatok sebesar Rp1.988,9 triliun. Hingga Juli 2024, penerimaan perpajakan yang mencapai Rp1.028,0 triliun, meskipun mengalami kontraksi 7% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Penerimaan perpajakan terutama dipengaruhi oleh penurunan setoran tahunan dan angsuran PPh Badan, peningkatan restitusi, serta faktor volatilitas harga komoditas dan downtrading ke golongan rokok yang lebih murah. Penerimaan pajak mencapai Rp893,8 triliun dan kepabeanan serta cukai mencapai Rp134,2 triliun.
Realisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) semester I 2024 mencapai Rp288,4 triliun, turun 4,5 persen dari Rp302,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu, terutama disebabkan oleh moderasi harga komoditas batu bara. Namun, kontribusi pendapatan dari dividen BUMN meningkat signifikan dibandingkan tahun lalu.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa penerimaan pajak sepanjang 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun. Realisasi itu berhasil tembus di atas target yakni 108,8% dari target awal APBN 2023 dan 102,8% dari Perpres 75 Tahun 2023.
Sedangkan pada 2022, penerimaan pajak menembus Rp1.716,8 triliun sepanjang 2022. Capaian tersebut menembus 115,6% dari target yang ditetapkan dalam Perpres No. 98/2022 sebesar Rp1.485,0 triliun.
Sepanjang 2022, realisasi pajak penghasilan (PPh) nonmigas tercatat sebesar Rp920,4 triliun atau mencapai 122,9% dari target Perpres No. 98/2022, meningkat 43% jika dibandingkan dengan tahun 2021.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun 2021 mencapai Rp1.277,5 triliun. Jumlah itu naik 19,2%, dibandingkan capaian di tahun 2020.